Terjebak dalam dua hati bukan perkara mudah. Kamu diharuskan takluk pada satu pilihan, sementara keduanya masih ingin dipertahankan. Pada akhirnya, kamu hanya akan selalu larut dalam kebimbangan yang tak pernah kunjung menemukan ujung.
-
Pada malam di mana Tala berkata bahwa hidup Arumi akan jauh lebih baik-baik saja saat ia mulai bisa menerima takdir, Arumi mengaminkan. Lantas kala itu juga, ia mengikrarkan janji pada diri sendiri untuk mulai mengedepankan logika dan berdamai dengan nasib. Belakangan, semua terlewati dengan baik, berjalan bagaimana semestinya, tanpa ragu yang menghantui.
Namun pada nyatanya, Arumi melupakan satu hal paling esensial. Jika pada dasarnya, logika dan hati manusia seringkali tidak sejalan. Logika yang mengambil alih terus berusaha meyakinkan, bahwasanya garis takdir tak dapat ditentang walaupun ia berontak habis-habisan. Sementara di sisi lain, hati tentu tidak bisa berbohong, jika menerima semua keadaan rumit yang bahkan tak pernah terlintas sekalipun akan tetap menjadi sesulit ini. Kedua hal krusial itu saling beradu, bergumul, seolah-olah bertindak sebagai penentu mengenai siapa yang berakhir konstan mendominasi.
Sampai-sampai saat ini Arumi tidak dapat menebak dengan pasti, aliran air yang terus-menerus merembes di sudut mata dan menganak sungai di pipinya ditujukan pada siapa. Apakah pada sosok yang masih bernyanyi ditemani petikan indah gitar di panggung sana, atau pada sosok berkemeja flanel kotak-kotak hitam yang berdiri kaku beberapa meter darinya, tepat di bawah remang lampu taman sekolah yang sedikit menyamarkan wajah itu.
Yang Arumi ketahui, beberapa menit yang lalu tungkainya bergerak dengan sendirinya. Membawanya serta-merta untuk manjauh. Sebab, alunan merdu itu membuat ia terlampau haru, terbawa dalam suasana sendu, hingga rasanya Arumi tak lagi mampu bertumpu tanpa terpaku. Berpikir ia akan malu jika kedapatan menangis oleh Tala, ia memilih meninggalkan Kiran, menerobos kerumunan yang juga tengah termangu akan persembahan Tala yang memukau, dan berakhir di tempatnya berpijak sekarang, bersama segala macam rasa yang susah untuk dijabarkan.
Arumi tergugu di tempat, tidak berani mendekat, tetapi juga tak mau berpaling secepat itu. Ada keinginan kuat untuk menyapa, akan tetapi suaranya seperti tercekat. Ditambah lagi, hati serta logikanya masih saja terus berdebat. Bahkan pengakuan jika hatinya telah goyah, sekarang malah menjelma menjadi rapuh, tak ubahnya ikrar yang belakangan terucap, serempak telah menguap lenyap tanpa bekas.
Hingga pada saat sosok pemuda berkemeja flanel kotak-kotak itu mengubah ekspresi kakunya menjadi sebuah senyuman, maka di detik itu juga, Arumi membiarkan hatinya menang. Logikanya benar-benar kalah telak dan Arumi lagi-lagi tak mampu mengelak. Senyuman berlesung pipit milik sosok itu lebih cukup mampu membuat jiwanya tak lagi utuh, melebur bersama rindu yang memupuk, akibat rasa yang ia paksa menutup.
Si pemilik senyum berlesung pipit menawan itu membawa langkahnya lebih mendekat, memangkas jarak raga yang sebelumnya terbentang, sekaligus hati yang sempat merenggang. "Rum," sapanya pada Arumi yang masih mencoba menguasai diri.
Setelah hari di mana percakapan antara dirinya dan Tala yang berkendara di bawah rinai hujan kala itu, di hari yang sama merupakan pertemuan terakhirnya dengan pemuda yang sekarang berdiri di hadapannya. Selama berminggu-minggu Arumi kembali pada panggung lakon yang ia ciptakan. Menyanggupi permintaan Mama, bersandiwara, dan terus-menerus bermain kucing-kucingan. Selama itu ia berhasil meminimalisir pertemuan, atau tepatnya memang sama sekali tidak bersua. Dan hanya dalam satu perjumpaan, semua usaha itu runyam, membawanya kembali pada rasa bimbang yang tak berkesudahan.
"Erza ...." Hanya dengan mengucap nama itu, hati Arumi semakin porak-poranda, ia kian terbawa dalam kegundahan.
Saat jarak keduanya hanya berkisar satu meter, rasa-rasanya Arumi ingin berlari. Menubruk daksa Erza, lalu mendekapnya se-erat mungkin dan kalau bisa tidak akan pernah mau melepaskannya lagi. Hanya saja, lantunan ucapan terima kasih yang mengalun dari sound system, selagi rungunya juga samar-samar mendengar gemuruh tepuk tangan serta sorak kekaguman dari arah lapangan utama, membuat Arumi refleks menahan diri untuk tidak merealisasikan apa yang sebagian hatinya bisikkan. Pada akhirnya Arumi hanya berdiri mematung di tempat, kembali larut dalam kebingungan hati yang melanda, sembari menunggu apa yang ingin Erza sampaikan kali ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
1432, Tala!
Jugendliteratur"Semua hal, pasti akan tiba pada akhirnya." Kotak berukuran sedang dengan warna putih-abu yang sudah bertahun-tahun tidak tersentuh, membuat Arumi mengenang kembali hari-harinya sebagai siswi SMA. Juga, orang-orang yang pernah hadir di masa putih ab...