10. Yang Seharusnya

40 5 5
                                    

Perasaan itu menyiksa. Salah-salah bisa berakhir sia-sia. Lalu, menjebak dan membelenggu raga dalam lara yang tersisa.

-

Arumi sadar, tidak terlalu sulit rasanya ketika ia menyanggupi permintaan Mama beberapa hari yang lalu. Walaupun nyatanya, hati kecilnya lagi-lagi sama sekali belum siap. Hanya saja Arumi pikir, tidak ada salahnya benar-benar menerima apa yang sudah menjadi takdirnya, bukan?

Benar, menyanggupi memang tidak sulit, tetapi bagian tersulit dari yang paling sulit adalah merealisasikan apa yang ia sanggupi.

Dan salah satu caranya adalah menghindari Erza.

Sudah Arumi katakan sebelumnya, bahwasanya Erza kembali menjadi Erza yang Arumi kenal, bukan Erza yang sempat mengabaikannya usai perbincangan malam itu. Sebenarnya Arumi bisa bersikap biasa saja saat berpapasan dengan pemuda itu, tetapi ia tetap harus mencoba meminimalisir pertemuan tidak disengaja mereka semaksimal mungkin. Arumi tidak ingin kembali goyah. Ya, kecuali jika Kiran sudah merengek untuk ditemani bertemu Erza, tentu Arumi harus ekstra dalam bersandiwara agar tidak ketahuan jika sedang terjadi sesuatu.

Sandiwaranya masih terus berlanjut, termasuk hari ini. Jadi ketika obsidiannya menangkap sosok yang menjadi objek kucing-kucingannya beberapa hari belakangan memasuki lapangan bersama anggota tim ekskulnya, fokus Arumi yang juga sedang berlatih di sisi lain lapangan otomatis pecah.

Sialnya lagi, gadis dengan rambut kuncir kuda dan seragam khas pemandu sorak itu baru saja melakukan salah satu gerakan yakni, salto. Maka kala fokusnya hilang dan tubuhnya selesai berputar, pendaratan kakinya tidak lagi berpijak dengan mulus.

Semuanya terjadi begitu cepat. Arumi bahkan bisa langsung merasakan nyeri pada kaki kanannya, membuat ia kini meringis.

Pekikan nyaring terdengar dari mulut para anggota cheers lainnya yang langsung berkumpul mengelilingi Arumi. Tentu, hal itu menarik perhatian tim basket yang baru saja ingin berlatih. Semuanya mendekat. Sementara di sela-sela ringisannya, berbagai raut khawatir serta lontaran pertanyaan mengenai keadaannya menjadi pengiring betapa sialnya Arumi hari ini.

"Rum, lo oke?" Kiran yang pertama kali berjongkok di samping Arumi, mencoba membantu meluruskan kaki kanannya yang tertekuk.

"Berdarah, tuh, lututnya."

Celetukan salah seorang anggota basket membuat Arumi kian meringis. Rasa perih dari luka di lututnya semakin menjadi-jadi ketika kakinya di luruskan, terlebih lagi pada bagian pergelangan kaki yang tadi terlipat.

Perih memang, tetapi lebih perih lagi saat ia tidak menemukan Erza di wajah-wajah yang sedang mengerumuninya. Oke, sebut saja Arumi tidak berpendirian, karena beberapa menit yang lalu pikirannya masih jernih dan memerintahkannya untuk tidak berurusan ataupun memikirkan Erza. Arumi memang ingin menghindari pemuda itu, hanya saja di saat-saat seperti ini Arumi tetap berharap Erza peduli.

Lagi pula, yang membuat dirinya salah fokus dan jatuh begini bukankah pemuda itu? Teman-teman klubnya atau anggota basket yang berkerumun juga hanya berdiri diam menatap prihatin tanpa berniat membopongnya segera ke UKS. Kecuali Kiran yang sekarang sudah memijat-mijat kecil kaki kanannya yang terkilir.

Jadi, bisa, kan, Arumi berharap sedikitㅡ

"Arumi, lo nggak apa-apa?"

"Mana yang sakit, Jingga?"

ㅡoh, bagus. Arumi memang berharap Erza muncul dan menolongnya. Namun suara serak bariton seseorang yang khas juga ikut terdengar.

Erza dengan jersey hitam tanpa lengannya, serta Tala dengan hoodie merah gelapnya. Dua pemuda itu baru saja menerobos kerumunan dan langsung berjongkok di masing-masing sisi tubuhnya.

1432, Tala!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang