Rasa tak selalu memuat rentetan kata, tetapi rasa selalu tahu semua tentang kita.
-
"Udah puas bengongnya?"
Suara serak bariton itu seolah menarik kembali kesadaran Arumi. Ia menoleh, mendapati sosok Tala tengah memandangnya lurus-lurus dengan kedua alis terangkat. Arumi menggigit bibir dalamnya sejenak, sebelum meraih botol air mineral yang sejak tadi belum tersentuh sama sekali.
Sambil meneguk air, pandangan Arumi sesekali melirik pada pintu minimarket di mana beberapa orang terlihat berlalu-lalang. Sejujurnya, perasaannya sudah sedikit lebih baik sekarang semenjak kehadiran Tala.
"Sekarang gue anterin balik, ya?" Pertanyaan itu kembali mengalihkan atensi Arumi. Tala masih setia menatapnya sembari bertopang dagu.
Arumi meletakkan kembali botol air yang isinya sudah tandas setengah sebelum menjawab, "Gue belum mau balik," ungkapnya, sebelum kembali memalingkan wajah, menghindari tatapan Tala.
Arumi bukan bermaksud mengabaikan Tala, sebenarnya ia hanya belum siap ditanyai macam-macam, merasa tidak enak dan juga sedikit malu. Pertanyaan-pertanyaan semacam, apa yang Tala pikirkan saat melihat keadaannya sekarang? Apakah ia telah merepotkan pemuda itu? Atau, apakah Tala tidak terganggu melihat penampilannya yang kacau terus bersemayam di benaknya.
Meski nyatanya, sejak kedatangannya, Tala tidak pernah membuka suara untuk membombardir Arumi dengan beragam pertanyaan. Justru yang ada, Tala malah terus menatapnya dalam diam dengan kekhawatiran yang terpancar jelas. Baru setelah berpuluh-puluh menit saling bungkam, Tala mengajukan pertanyaan tadi.
Tadi setelah usai melakukan panggilan dengannya, pemuda itu langsung bergegas menuju ke lokasi yang Arumi berikan. Arumi masih ingat dengan jelas bagaimana raut panik Tala saat mendapati dirinya sesenggukan. Namun, alih-alih melontarkan runtutan tanya, tindakan yang Tala ambil adalah menutupi Arumi yang menangis dengan menjatuhkan jaket ke kepalanya agar tidak menjadi perhatian orang-orangㅡsekarang jaket tersebut sudah kembali dikenakan pemiliknya.
Tala masih tetap memandanginya lekat, membuat Arumi sebisa mungkin memfokuskan pandangannya ke depan. Ia lagi-lagi memerhatikan pintu minimarket yang terbuka-tutup setiap beberapa menit sekali, bergantian melempar pandangan pada jalanan malam yang penuh oleh lampu-lampu kendaraan, atau menatap langit malam yang kelabu tanpa gemintang. Yang pasti, Arumi mencoba melihat apa saja yang ada di hadapannya guna menghindari kontak langsung dengan Tala.
Saat ini mereka berdua tengah berada di minimarket yang letaknya tidak jauh dari perumahaan Arumi. Dua remaja itu tengah duduk di salah satu bangku outdoor bermeja bundar, lengkap dengan sebuah payung menaungi mereka.
Arumi yang awalnya memilih tempat ini karena ia tidak mampu berjalan terlalu jauh, mengingat kakinya yang terkilir masih sangat sakit. Selain itu, Arumi tidak lagi mampu menahan sesak jika mengingat kedatangan serta pertengkaran dengan papanya beberapa saat yang lalu. Dan, daripada air matanya tumpah ruah ketika posisinya masih berdiri di trotoar dengan jalanan yang padat akan kendaraan, Arumi lebih memilih menempuh minimarket seberang jalan untuk menunggu kehadiran Tala.
Dari ujung ekor matanya, Arumi dapat melihat Tala menegapkan duduknya. "Kalau gitu lapar nggak? Mau makanan berat? Atau mau gue belikan roti di dalam aja?" cecarnya beruntun.
Tawaran yang menggiurkan. Kebetulan Arumi sudah sangat lapar, mengingat energinya terkuras banyak akibat menangis. Arumi akhirnya membalas tatapan Tala.
"Makanan berat."
Jawaban Arumi membuat Tala menarik seluas senyum, pemuda itu kemudian berdiri. "Tunggu bentar, ya, gue beli tisu basah dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
1432, Tala!
Подростковая литература"Semua hal, pasti akan tiba pada akhirnya." Kotak berukuran sedang dengan warna putih-abu yang sudah bertahun-tahun tidak tersentuh, membuat Arumi mengenang kembali hari-harinya sebagai siswi SMA. Juga, orang-orang yang pernah hadir di masa putih ab...