Bab 4 : [Terjebak Dalam Waktu (1)]

315 28 110
                                    

Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai putih itu bergema di gedung belajar anak-anak fakultas kedokteran tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara ketukan sepatu yang beradu dengan lantai putih itu bergema di gedung belajar anak-anak fakultas kedokteran tersebut. Masing-masing terlihat terjadi pergantian pemakaian kelas, ada yang masuk, ada yang keluar.

Tampak dua orang anak hawa itu berjalan berdampingan dengan sebuah laptop di tangan, keduanya baru saja selesai dari kelas anatomi dan kosong untuk dua jam selanjutnya.

"Gua mau ke hima, Xa. Mau ikut?" tawar Rhea.

Oxa yang sedang mengetik di layar ponsel seketika menggeleng lalu memasukkan benda persegi itu ke tasnya.
"Lo aja, Rhe. Gue nggak. Kita ketemu di kelas Biologi selular dua jam lagi," ujar Oxa sembari menatap netra Rhea.

Rhea pun mengangguk setuju dan keduanya berpisah di dua arah yang menuju pintu keluar dan menuju jalan alternatif ke perpustakaan. Rhea berjalan di sisi kanan, sedangkan Oxa memilih di sisi kiri. Dalam langkah pasti Oxa melangkahkan kakinya yang berbalut flat shoes biru itu menuju perpustakaan yang berada tidak begitu jauh dari gedung fakultas kedokteran.

Bangunan besar dengan tiga lantai itu berdiri menjulang di antara gedung-gedung lainnya. Seolah menegaskan bahwa ia pun tak mau kalah di walau sudah cukup tua dimakan usia. Di zaman digital ini jika dibandingkan dengan dahulu, jumlah mahasiswa yang berlalu lalang di sekitar perpustakaan menurun drastis. Biasanya jika dahulu ada berpuluh mahasiswa yang kerap kemari untuk mencari tambahan referensi untuk tugas, praktikum, ataupun skripsi. Namun, sekarang walaupun tidak sebanyak dahulu, sejauh netra Oxa memandang ia masih melihat kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas tiga hingga lima orang duduk di sekitar perpustakaan.

Flat shoes birunya melangkah menaiki undakan-undakan tangga sebelum bertemu dengan pintu kaca yang di atasnya tertulis ucapan selamat datang. Oxa masuk perlahan, atmosfer yang menyapa di sekitarnya membuat gadis itu refleks tersenyum. Suasana yang begitu ia sukai, damai, tenang, dan tidak berisik.

Oxa langsung saja menjelajahi rak demi rak yang berada di dalamnya, mungkin ada berjuta-juta buku di dalam gedung dengan tiga tingkatan ini. Tiap lantainya terdapat ruang baca dan ruang istirahat, pun dengan toilet perempuan dan laki-laki yang disediakan di tiap lantai. Rak-rak tinggi menjulang dengan bahan besi itu berjejer rapi sesuai dengan kelompoknya. Ketika melihat ke kiri, Oxa dapat menemui beberapa rak dinding yang berisikan novel-novel terbaru dan ter-update.

Warna-warni buku yang tersusun di dalamnya selalu membuat Oxa bahagia, entahlah ia selalu kagum dengan ketelatenan penjaga perpustakaan yang selalu berhasil mengelompokkan buku-buku di sana dari warna, jenis, sampai ukurannya. Membuat pemandangan yang elok di pandang.

Oxa berjalan ke sisi rak dengan tulisan 720-728, jari jemarinya aktif menyentuh buku-buku di sana. Mengamati satu demi satu judul yang terselip di pinggir-pinggir bukunya. Oxa berhenti di satu buku ia lalu mengambilnya dan membaca judul buku itu sekilas.

"Start with why, karya dari Simon Sinek," gumamnya pelan. Oxa lalu membalik bagus belakangnya, tertulis beberapa deskripsi ataupun blurb di sana.

"... setiap organisasi atau seorang individu umumnya dapat menjelaskan apa yang mereka lakukan, tentang bagaimana yang menjadi berbeda atau lebih baik. Namun, sangat sedikit dari mereka yang dapat menjelaskan ketika ditanya 'Mengapa?' Hm ... cukup menarik."

Oxa kembali membolak-balikkan buku tersebut, sampul berwarna putih dengan judul memenuhi cover bercetakan tinta merah besar serta kalimat kecil di sekitarnya. Untuk sebagian orang mungkin akan sependapat bahwa dari tampilan buku itu terlihat monoton dan membosankan hanya dengan warna putih yang mendominasi juga tulisan judul berwarna merah, terlihat seperti buku-buku yang membutuhkan banyak pengertian dan kekuatan otak agar lebih memahami isinya.

Akan tetapi, untungnya Oxa bagian dari orang yang punya kekritisan lebih dalam berpikir juga kerja otak yang dipacu lebih keras. Tanpa berbasa basi ia segera memeluk bugu tersebut, bersiap menjelajah dibagian buku lainnya.

Netranya terus mencari dan mencari, menelusuri dari atas ke bawah pun sebaliknya. Jari jemarinya tak lantas usai memegang tepian tiap buku, mencari sesuatu hal yang menarik hati dan patut untuk menjadi teman akhir pekannya. Cukup lama ia berkeliling, tetapi rak juga menemukan buku unik lainnya, Oxa pun beranjak sedikit menjauh dari barisan rak.

Berjalan menuju tempat duduk dengan sedikit menjauh dari orang lain yang juga tengah membaca. Lagi-lagi keberuntungan menghampirinya tatkala kursi incarannya masih kosong, sebuah tempat dengan lokasi tepat berada di sisi jendela besar dengan tirai terbuka yang sontak membuat matahari jatuh tepat mengenai wajahnya.

Oxa menunduk, memperbaiki beberapa anak rambut yang jatuh menghalangi pandangannya. Gadis itu lalu meletakkan buku yang tadi ia bawa, membaca dari lembar pertama. Seperkian detik dahinya mengerut, lalu tak lama kembali hilang tergantikan senyuman tipis. Seolah ia baru saja menemui soal di ujian teori tertulis, lalu mendapatkan jawabannya setelah berpikir dan memahami dengan cermat.

Tanpa sadar, Oxa tak menyadari kehadiran laki-laki yang sedari tadi memandangnya. Posisi laki-laki itu tak begitu jauh dari Oxa, hanya saja sedikit terhalangi sebuah rak yang berada di dekatnya. Tepat ketika ia membuka mata, netra gelap laki-laki itu terdiam dalam satu garis kurva, tanpa berkedip dan mungkin hampir lupa berekspresi dan ... bernapas.

"Angel ...," lirihnya. Bukannya apa, pasalnya laki-laki itu sedikit terpesona dengan keindahan dunia yang berada di depannya. Tepat ketika membuka mata dari tidur panjang, layaknya Pangeran Tidur ia berjumpa dengan sang putri yang begitu cantik dan bersinar.

Laki-laki itu masih pada posisinya, masih belum bergerak dalam artian lain. Mengamati dan terus mengamati, bahkan setelah di menit ke lima belas. Tepat di menit selanjutnya ia beranjak, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara dari gesekan kursi besi yang ia duduki. Tidak, ia tidak mendekati Oxa. Langkahnya bahkan berlawanan, masuk dan tenggelam di balik jajaran rak dengan kumpulan buku-buku fiksi.

"Boleh gue duduk di sini?" Oxa sontak mendongak ketika mendapati pertanyaan yang tertuju padanya.

Netra coklat itu menatap sekilas lalu mengangguk sembari menjawab. "Silakan, kursi dan meja di sini bukan milik gue."

Laki-laki itu tersenyum kala menerima sikap dingin gadis di depannya. Bahkan setelah sebuah buku ia bawa, keduanya masih terdiam tanpa ada obrolan ataupun niatan berkenalan.

Oxa yang fokus pada bacaannya benar-benar tidak memedulikan laki-laki yang berada di hadapannya itu. Menganggapnya tak ada, bahkan benar-benar seolah hanya sendiri.

"Nama gue ...."

"Gak nanya," sela Oxa cepat. Ia melirik tajam laki-laki di depannya lalu kembali fokus pada bacaan. Untuk sesaat, atmosfer benar-benar tak menyenangkan.

Haii-haiii gimana bab 4 nya😉Jangan lupa LIKE KOMEN SHARE OKAYYY!!!!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Haii-haiii gimana bab 4 nya😉
Jangan lupa LIKE KOMEN SHARE OKAYYY!!!!!!

FOLLOW AKUN @ladyjune3_ 😉

Sense of Stability[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang