Bab 8 : [Bertemu Rhea]

225 24 92
                                    

"Anak Dakjal emang!" seru Dimas sembari berjalan mendekati Zhio setibanya di tempat tongkrongan mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Anak Dakjal emang!" seru Dimas sembari berjalan mendekati Zhio setibanya di tempat tongkrongan mereka.

Zhio sontak terkekeh. "Bangun jam berapa lo tadi? Dipanggil Pak Bambang nggak?"

Zhio mengaduh sakit saat Dimas dengan sengaja memukul bahunya, Dimas sendiri duduk di salah satu kursi yang tiga di antaranya telah terisi.

"Kenapa lo? Dateng-dateng udah kayak Thanos aja," tanya Tansen selagi menghidupkan rokoknya.

"Nih, si anak haram gue tidur di kelas malah ditinggal sampe di foto dosen lagi." Tunjuk Dimas ke Zhio yang masih saja terkekeh.

"Gue cuma ngikutin kata dosenlah, kata Pak Bambang diem ya gue diem. Demi mendapat nilai A gue ikutin lah," jawab Zhio dengan percaya dirinya. Mendengar jawaban temannya itu, Dimas sontak ingin sekali memasukkan Zhio ke dalam lubang kelinci yang dimasuki Alice dalam serial Alice in Wonderland.

"Bener-bener ya lo, perlu di ospek lagi nih anak," geram Dimas masih dengan rasa kesalnya.

Afsil yang sedari tadi hanya menyimak pun menanggapi. "Udahlah Dim, salah lo juga lagi ada kelas malah tidur. Anggap aja konsekuensi dari kesalahan lo sendiri, mau Dimas bangunin atau nggak tetep aja lo nggak sopan dan nggak menghormati dosen, kan."

Sontak Zhio mencium kepala Afsil yang dihiasi rambut potongan cepaknya. "Lo emang temen terbaik gue, Sil. Denger tuh Dim perkataan dari Menteri Keuangan kita," sorak Zhio tatkala Afsil lebih pro kepadanya.

Dimas menatap Tansen, sedangkan yang ditatap menyeringai tipis. "Rokok sebungkus baru gue bela lo," ujarnya masih dengan seringai di bibir.

"Laknat emang lo! Dahlah, punya temen nggak ada yang bener."

Tak lama itu, Fikri lalu datang bersama seorang perempuan yanh cukup asing di mata Afsil, Tansen, maupun Dimas. Namun, Zhio yang melihatnya sontak mengernyitkan dahi.

"Dia yang tadi sama Aricia, kan?" batinnya.

Tansen dan Dimas saling melirik keduanya langsung bersiul senang. "Ada yang baru, nih! Ya, kan Sen?"

Tansen melirik Dimas lalu kembali menatap Fikri dan perempuan yang ia bawak. "Yoi, Bro! Ada yang laku setelah lama menduda, akhirnya satu teman kita menemukan janda—Ahk!"

Tansen meringis sakit ketika Fikri memukul kepalanya dengan buku setebal dua jari yang entah sejak kapan ia keluarkan dari tas keramatnya.

"Janda ... janda, kalau bicara asal ngejablak aja. Kebiasaan," geram Fikri. Ia pun membawa perempuan di sebelahnya untuk duduk di kursinya.

"Kenalin, ini Rhea. Anak kedokteran juga tapi semester dua."

Rhea tersenyum senang. "Hai, salam kenal nama lengkap gue Rhealita Rahma, biasa disapa Rhea."

Baru saja Tansen hendak berbicara, Dimas sudah lebih dahulu memperkenalkan dirinya dan mengambil tangan Rhea untuk bersalaman.

"Gue Dimas, cowok unik nan kece sejagat raya yang cuma ada satu di Fakultas Pertanian. Kalau Rhea butuh refreshing, Kakak siap membawa Rhea ke padang sabana lalu melihat sunset di sore harinya." Ucapan Dimas sontak mendapat sorakan dari teman-temannya yang lain.

Sense of Stability[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang