Hujan turun dengan derasnya, suara gemericik air yang berjatuhan di atas atap gedung, aspal, dan tanah memenuhi pendengaran. Suara itu bersamaan dengan suara-suara mahasiswa yang baru saja keluar dari ruang kelas. Terlihat ada yang merapatkan pakaiannya demi menghalau udara yang semakin dingin. Beberapa juga terlihat masih betah di dalam ruangan sembari memainkan ponsel menunggu hujan reda.
Oxa dan Rhea baru saja keluar dari ruang kelas B1 keduanya menatap langit dari balik kaca. Awan hitam semakin pekat, bersamaan guyuran hujan yang makin deras. Beberapa kali Oxa menunduk dan menutup pandangannya ketika tiba-tiba datang cahaya sesaat yang menyilaukan mata, kemudian disusul suara menggelegar setelahnya--guntur.
"Xa, hujannya masih deras banget, nih. Mau nunggu atau terobos?" tanya Rhea sembari melirik ke kiri dan kanan, menatap langit yang masih belum terlihat tanda-tanda berhentinya hujan.
Oxa belum menjawab, ia masih betah menatap langit dengan sesekali memejamkan matanya. Perlahan sebuah lengkungan kurva tercetak di bibir merah muda itu.
"Xa?" Rhea kembali memanggil, kali ini ia menoleh, menatap temannya itu, "malah senyum-senyum. Xa, gimana? Terobos atau tunggu dulu?"
Oxa membuka matanya, tanpa mengalihkan pandangan dari suasana yang begitu nyaman di netranya itu ia pun menjawab, "Tunggu aja dulu, kalau masih belum reda kita terobos."
Ucapan Oxa dijawab anggukan kepala Rhea, selanjutnya keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Posisi keduanya tepat berada di depan jendela besar yang menampakkan langsung pemandangan di luar sana. Dapat mereka lihat beberapa mahasiswa yang nekat pulang dengan konsekuensi demam. Di bawah sana, parkiran masih dipenuhi kendaraan baik dari mahasiswa juga dosen.
Sepuluh menit telah berjalan dengan rasa pegal mulai menghampiri, sebagai remaja jompo nomor wahid. Tentu, Rhea terlebih dahulu berinisiatif mencari tempat duduk. Karena kalau menunggu Oxa yang bergerak, maka hingga hujan berhenti pun rasanya temannya itu akan betah-betah saja berdiri. Oxa dan kenyamanannya benar-benar tidak dapat dipisahkan.
"Xa, duduk di sana aja yok. Pegel berdiri terus, rasanya sendi dan otot gue udah teriak semua," ujarnya sembari menunjuk tempat duduk yang tak jauh dari jendela. Keduanya lalu berjalan menuju tempat duduk itu setelah Oxa mengangguk setuju.
Tenggelam dalam keheningan, Oxa melirik Rhea. Perempuan itu telah disibukan dengan game blossom blast saga-nya, Oxa sendiri kembali mengamati sekitar, tak jauh berbeda banyak mahasiswa kedokteran lainnya yang tengah bermain ponsel. Ada yang betah berdiri, ada yang duduk di lantai sembari memakan camilan, ada pula yang asyik jongkok sembari sesekali menimpali obrolan temannya yang lain.
Suara notifikasi dari ponselnya menarik perhatian Oxa. Sebuah pesan dari seseorang yang kemarin sempat membuatnya kebingungan, Kak Zhio.
Kak Zhio FP
P
P
Masih di kampus?Selama dua menit, jarinya masih belum bergerak, bimbang antara ingin membalas ataupun tidak. Netranya melirik Rhea, melihat temannya itu masih sibuk dengan permainannya Oxa pun mengurungkan niat untuk meminta pendapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense of Stability[END]
عاطفية"Bener, ya, anak kedokteran itu pada jomlo." "Kata siapa?" "Emang lo nggak?" Tamara Aricia Oxa, sang Virgo harus menerima ketika kehidupannya yang penuh tentang ambisi dan gelar dokter terusik dengan kehadiran sang Gemini yang entah bagaimana men...