Bab 5 : [ Terjebak Dalam Waktu (2)]

311 26 107
                                    

"Tapi guenya mau kenalan, gimana dong?" balas laki-laki itu tak mau kalah, tangan kekarnya menopang dagu sembari menatap Oxa intens

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tapi guenya mau kenalan, gimana dong?" balas laki-laki itu tak mau kalah, tangan kekarnya menopang dagu sembari menatap Oxa intens.

Oxa kembali melirik tajam laki-laki itu seolah kembali menekankan daerah nyamannya, wilayah teritorialnya. Untuk lima menit pertama Oxa cukup kuat mengabaikan laki-laki itu, tetapi ketika kaki sang lelaki menyenggol kakinya, stok kesabarannya semakin menipis.

"Serius banget, sih, baca bukunya. Padahal lebih menarik gue dari pada tuh buku, loh," tandas laki-laki itu.

Oxa menutup bukunya kasar lalu benar-benar menatap netra laki-laki di hadapannya. Netra cokelat layaknya kayu mahoni beradu dengan gelapnya bulu gagak itu, satu dengan kekesalan serta aura dinginnya sedangkan yang lain dengan kehangatan serta senyum ceria.

"Lo maunya apa, sih? Tadi izin mau duduk, udah gue izinin malah ngelunjak," geram Oxa.

Laki-laki itu tersenyum lalu berkata, "Gue mau kenalan sama lo, simpel, kan?" ungkapnya.

Oxa belum menanggapi, ia melirik ke kanan dan kiri lalu kembali menatap netra laki-laki itu. Embusan napas terdengar darinya, perlahan raut kekesalan tadi sirna. Berganti ekspresi jengah dan bodo amatnya.

"Tamara Aricia Oxa, itu nama gue." Oxa berucap singkat.

Wajah yang memang sudah bersemangat tadi lantas semakin berseri tatkala kemauannya terpenuhi. Dengan sigap laki-laki itu menarik tangan kanan Oxa— berjabat tangan.

"Gue Arzhio Tirtayasa, anak fakultas pertanian. Lo anak mana? Angkatan berapa? Pulang naik apa? Boleh gue anter balik nanti? Eh, nomor ...."

"Cukup!" bentak Oxa, bersyukurlah posisi mereka sekarang sedikit jauh dari orang-orang, jika tidak sudah pasti keduanya telah dihadiahi delikan tajam karena berisik dan mengganggu.

"Lo beneran ngelunjak, ya! Apa maksudnya coba nanya-nanya kayak tadi?" Wajah Oxa memerah berang, ia menekan tiap perkataanya berusaha tidak lebih keras dari ini.

"Nggak maksud apa-apa, namanya juga kenalan. Itu masih masuk bagian kenalan kali, Ric," sanggahnya, rambut hitam yang disisir rapi milik Zhio itu terlihat bersinar kala matahari ikut menyorotnya.

Alis kanan Oxa sedikit terangkat. "Ric?" beo Oxa bingung.

Zhio tersenyum. "Iya, Ric. Gue ambil dari nama tengah lo, Aricia. Bagus, kan?"

"Nggak." Oxa menjawab ketus, ia segera mengambil buku yang tadi ia baca sembari beranjak dari kursi.

Tak membiarkan Oxa pergi, Zhio lantas memegang pergelangan tangan Oxa. Membuat langkah gadis itu sontak terhenti.

Oxa menarik napas dalam lalu berbalik menatap Zhio. Zhio sendiri menoleh ke kiri, mengambil sebuah buku yang tadi ia bawa. Tangannya bergerak membuka telapak tangan Oxa, meletakkan sebuah buku bersampul warna-warni dengan wajah salah seorang komedian dan penulis terkenal di cover-nya.

Sense of Stability[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang