10

3.1K 317 67
                                    

Guys sebelum mulai, aku cuman pengen ngingetin, kalo chapter kali ini bakalan panjang banget, kira-kira 6,5k lebih lah. Moga malah gak bikin boring yaa  (っ'▽`)っ

Enjoy~

.

.

.

Satu hari berlalu dengan cepat dan lambat secara bersamaan, pikir Dazai sambil merapikan kertas-kertas sehabis wawancara terakhirnya dengan orang yang terduga 'tersangka' oleh para polisi, dan sudah dapat di tebak tidak ada hasil. Dia menghela napas. Dia pikir apa yang dilakukannya percuma, karena jelas pelakunya adalah kutukan. Walaupun dia tidak tahu persis bagaimana bentukan dari kutukan ini—kata Satoru, jika kutukan itu sangat jenius dan kuat, kemungkinan besar dia akan mengambil bentuk manusia agar mudah untuk bersembunyi di antara kerumunan. Dia hanya mengangguk pada penjelasan Satoru kemarin, tidak bertanya lebih lanjut karena takut kepalanya akan benar-benar pecah jika di berikan begitu banyak fakta.

Butuh semua kekuatan yang dia miliki untuk tidak langsung melempar kertas-kertas di tangannya ke wajah seseorang dari pihak kepolisian, saat Dazai diminta untuk mewawancarai orang-orang, karena maaf saja, mereka masih saja keras kepala ingin menyelidiki pelaku dengan cara mewawancarai setiap orang yang kemungkinan adalah terduga tersangka. Dan yang benar saja! Itu jelas buang-buang waktu. Walaupun tentu dia mengerti jika para polisi itu hanya menjalankan tugas sesuai aturan.

Lagi pula, bahkan sampai detik ini pun, pihak yang mengautopsi mayat, belum dapat mengidentifikasikan dua jasad yang kemarin ditemukan. Wajar saja, hari kemarin saat dia sempat melihat kedua jasad itu--yang bahkan dia sendiri pun hampir tidak menyangka jika itu dulunya manusia. Dengan bentuk mayat yang sudah sangat berantakan dan terisi oleh air, dia pikir itu akan sulit untuk diidentifikasi. Melalui pengenalan gigi pun sudah tidak mungkin juga, karena dia sempat melihat gigi para jasad tersebut sudah tidak ada. Kemungkinan di cabuti satu-persatu oleh kutukan, kata Satoru. 

Dazai menghela napas lagi, lama-lama dia bisa sinting. Bangun dari kursinya, dia keluar dari ruangan pengap ini. Ada pertemuan yang harus dia datangi terlebih dahulu sebelum bisa tidur di tempat tidurnya.

Ah berbicara tentang Kunikida, Dazai bersyukur dia datang bekerja walaupun telat. Jelas sekali efek mabuk dari semalam masih terasa sampai pagi. Dan sejak sehabis makan siang, Kunikida mungkin masih sibuk dengan Atsushi—nah mengambil laporan atau apa pun, dia tidak tahu jelas—di rumah sakit tempat outopsi para jasad. Tidak masalah sebenarnya, lagi pula nanti mereka akan berbicara dengan Satoru dan ketiga muridnya perihal kasus.

Membuka pintu ruang kerja, celingukan kanan kiri, sepi. Mungkin yang lain ada yang sudah pulang atau beberapa sedang nongkrong di kafe bawah, matanya melirik jam, sudah pukul delapan malam. Nah, dia ada janji jam setengah sembilan nanti—terlalu malam memang.

Dia memindahkan tumpukan kertas di tangannya ke meja dan membuka jas coklatnya, kegerahan. Duduk sambil bersender dan membuka teleponnya. Mengirim pesan pada Kunikida, menanyakan di mana dia. Segera saja jawaban dia terima, mengatakan jika Kunikida sudah di jalan menuju tempat pertemuan. Nah, kalau begitu dia pun juga mesti bersiap-siap dan juga Satoru bilang akan menjemputnya.

Setelah menghabiskan waktu lima menit untuk duduk sebentar, Dazai pun akhirnya memutuskan untuk bangun. Sedikit merenggangkan tubuh, dia menyampirkan jas di tangan dan pergi ke bawah. Dan saat dia membuka pintu depan menuju luar gedung, tubuhnya berhenti seketika.

Ada seseorang tidak asing berdiri di dekat mobil yang dia kenali sedang membelakanginya. Dazai tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu siapa itu. Saat orang itu berbalik dan menghadapnya, Dazai jelas dengan sangat sengaja memutar matanya, itu Ango.

"Malam." Sapa Ango dengan nada sopan yang malah membuat dia mengernyit.

"Yo~ Ango, ada apa kamu repot-repot datang kemari." Tidak perlu di tanya pun sebenarnya dia sudah tahu jawabannya. Kemarin saat polisi datang untuk mengevakuasi para jasad, Ango juga ada di sana. Lebih tepatnya Ango lah polisi yang waktu itu dia hindari saat dia dikejar.

Two-Headed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang