19

1.3K 163 14
                                    

Sebagian dari diri Dazai berpikir jika dia sepertinya sudah gila ketika mendengar suara Satoru di antara keheningan yang memekakkan. Tetapi perasaan kuat saat Satoru memeluknya, mencengkeram tubuhnya dan menciumnya... semua itu pasti nyata.

Baik, memang hal seperti jiwa yang terpisah dari tubuh atau proyeksi astral, bukanlah hal yang masuk akal. Tapi sejak awal pun, adanya para monster, kutukan atau bahkan status Satoru sendiri yang adalah penyihir sudah tidak masuk akal.

Dan dia sudah tidak peduli dan tidak ingin ambil pusing tentang hal seperti itu lagi, selama Satoru masih hidup hanya itu yang dia pikirkan. Satoru sudah berbuat banyak untuknya, menyelamatkannya sejak pertama kali mereka bertemu, membuatnya merasa nyaman dan aman. Dan membuatnya merasa di cintai begitu pun sebaliknya, yang mana adalah perasaan indah yang pertama kali dia rasakan untuk orang lain bahkan dirinya sendiri.

Jadi ya, Satoru sudah berbuat banyak untuknya dan dia bersyukur untuk itu. Tapi, saat Satoru mengatakan dengan begitu mudahnya jika dia rela mengorbankannya nyawanya untuk Dazai. Dazai dapat mendengar suara statis di telinga sedetik berikutnya.

Dia merasa marah, karena bagaimana bisa Satoru datang dalam hidupnya lalu memberinya harapan dan cinta yang tidak pernah terpikir dia begitu mendambakannya, dan lalu begitu mudahnya pergi lagi dari hidupnya dengan alasan mengorbankan nyawa untuk dia?

Meninggalkannya dalam kesendirian, begitu? Betapa jahatnya Satoru, ingin membuatnya tersiksa di neraka dunia ini.

Dan tidak. Dia tidak ingin merasakan itu, terima kasih Satoru.

Dan begitulah, dia pikir dia akan bunuh diri saja jika Satoru mati—apa lagi jika penyebab kematiannya adalah karena Dazai. karena ya, seperti yang sudah dia sebut, dia tidak akan kuat untuk itu—menjalani hidup tanpa Satoru adalah neraka.

Dia butuh Satoru di sampingnya, berjalan dan berlari bersamanya atau bahkan hanya terdiam dan saling memeluk. Itu adalah yang dia butuh kan, satu-satunya permintaan yang dia inginkan. Jadi terima kasih Tuhan, karena Satoru juga membutuhkannya kembali.

Dazai mengambil posisi duduk ketika suhu tubuhnya sudah kembali normal, mengingat hal apa yang sudah Satoru lakukan pada dia sebelumnya, membuat wajah dia menghangat. Satoru belum pernah menciumnya seperti itu. Dan sialan, padahal hanya karena ciuman tapi dia merasa tubuhnya sudah akan menyerah ketika Satoru mulai menyentuhnya.

Tapi dia hanya bisa tersenyum sedih ketika mendengar Satoru mengucapkan sampai jumpa. Ketika dia tersadar, beban dan hangat tubuh Satoru menghilang di detik berikutnya.

Dan Dazai terus menghitung detik berikutnya, menebak-nebak kapan Satoru akan kembali datang atau mungkin tidak, itu akan menjadi lebih baik. Setidaknya Satoru tidak perlu membahayakan diri hanya untuk melihatnya atau begitulah yang dia katakan pada dirinya sendiri, walaupun tentu, dia tidak akan menyangkal jika dia ingin terus berada di samping Satoru.

.

.

.

Satoru terbangun dengan perasaan paling terburuk yang pernah dia rasakan, seakan dia habis tertabrak oleh truk dan bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Nah bukannya dia pernah mengalami, tapi dia menjamin rasanya tidak akan jauh berbeda dari apa yang tubuhnya rasakan sekarang. Kepalanya begitu pusing, hingga seperti ingin pecah saja. Tubuhnya, ukh, dia tidak ingin membahas. Saking sakitnya, dia bahkan tidak bisa merasakan ujung jarinya.

"Aku kembali ya?" Suaranya terdengar sangat serak. Dan lehernya terasa sakit di setiap kata yang diucapkan.

Shoko tersenyum kecil dan lanjut melakukan pemeriksaan medis pada tubuhnya. "Iya, kau berhasil kembali." Dia ingin balik membalas tersenyum, tapi meringis saat itu juga terasa sakit.

Two-Headed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang