Satoru membuka matanya perlahan, melihat ke sekeliling dan sadar jika dia terbangun sendirian di kamarnya. Jendela besar di samping ruangan agak terbuka, menampilkan cahaya matahari yang menerobos masuk, menandakan hari sudahlah pagi. Suara bising obrolan terdengar, dia menebak itu dari arah dapur, sepertinya berasal dari ketiga muridnya dan Dazai. Mengacak-acak rambutnya, dia mencoba bangun menuju dapur.
Sebelum sempat, pintu kamar terbuka lebar dan Dazai masuk dengan tangan membawa nampan berisi sarapan.
"Oh kamu sudah bangun." Dazai tersenyum. "Pagi."
Satoru berdehem dan membalas sapaan dengan serak, sedangkan Dazai menaruh sarapan di meja nakas. "Muridmu, Yuuji dia pintar sekali memasak. Aku suka masakannya." Ucap Dazai sambil duduk di pinggir kasur dekat dengannya.
Satoru menatap, tersenyum sendiri dalam hati saat mengingat kejadian semalam. Setelah Dazai menuntun dia ke kamar, Satoru sebenarnya agak terkejut saat Dazai mengiyakannya untuk tidur di satu kasur saja. Dengan hati berdebar, dia mencoba membawa Dazai ke pelukannya dan saat tidak mendapat penolakan, Satoru pun tertidur. Tidur ternyenyak yang pernah dia dapat.
"Ada apa? Kamu terus menatapku dari tadi." Dazai tersenyum jahil padanya, matanya berbinar cerah.
Satoru menarik lengan Dazai, membawanya mendekat ke arahnya, hampir terduduk di pangkuannya. "Tidak apa-apa." Balasnya pelan dan tersenyum senang saat melihat rona merah pudar di telinga dan pipi Dazai.
Menghela napas, dia memeluk Dazai sepenuhnya. Ujung dagunya bertumpu pada bahu dan Satoru pikir dia benar-benar sudah candu pada aroma vanili yang manis. Siapa yang tahu jika dia begitu haus akan sentuhan.
Sedangkan Dazai yang sedang sibuk menyisir rambutnya dengan jari, berucap pelan. "Bukannya aku tidak suka, tapi setengah jam lagi aku harus pergi, pekerjaan menunggu."
Satoru hanya berdengung dan semakin mengeratkan pelukannya. Berbicara soal pekerjaan, dia jujur hampir saja lupa dengan kasus yang sedang dikerjakan. Nah, sulit untuk mengingat itu jika pikirannya sejak semalam penuh dengan Dazai.
"Kamu benaran akan tetap melakukan ide mu, bukan?" Walaupun sudah tahu jawabannya, dia tetap bertanya.
Tangan Dazai yang sedari tadi mengusap rambutnya, berhenti. "Ya, aku akan." Jawaban yang Satoru terima terdengar mutlak ditelinga. Hampir saja membuatnya meringis.
"Bagaimana jika kita membuat perjanjian?" Usulnya.
"Perjanjian?" Dazai memiringkan kepalanya, sekarang mereka saling memandang.
Dia mengangguk. "Ya, kamu tidak akan melakukan apa pun yang dapat membahayakan dirimu, karena aku yang akan mengurus pencarian kutukan ini. Setidaknya sampai... entah lah, mungkin untuk beberapa waktu ke depan." Ucapnya dengan serius, lagi pula sejak awal kasus ini memang bukan untuk ditangani oleh manusia biasa, melainkan oleh para penyihir sepertinya. Apa lagi kutukan ini pasti sangat pintar dan juga berbahaya, dia takut jika Dazai terlibat, malah akan berakibat fatal.
Bukannya dia menyepelekan kemampuan Dazai, hanya saja dia bisa mati gelisah karena mengkhawatirkan Dazai. Dan juga, dia berjanji pada dirinya sendiri akan menangkap kutukan ini segera dan membunuhnya, atas apa yang telah kutukan ini lakukan.
Tapi sesuai dugaannya, Dazai menggelengkan kepala tidak setuju dan membuka mulut. "Setidaknya sampai kutukan ini memberikanku kabar kapan dia ingin menemuiku." Tatapan Dazai tak kalah serius dengannya, seperti menantangnya untuk mengatakan tidak.
Sampai kutukan memberikan Dazai kabar. Matanya berkedip, tentu dia tidak lupa dengan kejadian buket bunga semalam. Apa lagi dengan isi dari kartu kecil yang kutukan itu selipkan, yang menyampaikan akan segera memberi kabar untuk pertemuannya dengan Dazai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two-Headed Boy
FanfictionCrossovers: Satoru Gojo (JJK) X Dazai Osamu (BSD) Ringkasan: Ini akhir pekan, Satoru memutuskan untuk pergi keluar membeli kue. Saat matanya tidak sengaja melihat seseorang yang bersiap loncat dari jembatan setinggi 7 meter. Tentu saja dia tidak bi...