21 (EPILOG)

293 51 19
                                    

Tidak pernah terpikir dalam hidupnya, Satoru akan berani dan begitu rela mengorbankan segalanya demi orang lain. Dia adalah orang egois, dia sadar akan hal itu. Tapi jika sudah menyangkut Dazai, dia sudah tidak menganggap kapasitas egonya sendiri. Semua itu digantikan oleh emosi yang tidak bisa dia gambarkan, emosi yang hanya mengatakan kepadanya bahwa dia cukup melakukannya saja, pada akhirnya menyelamatkan Dazai akan selalu memiliki risiko tersendiri. Tapi tidak apa. Dia sudah tidak peduli.

Mungkin hal yang dia lakukan bisa jadi bukanlah keputusan yang tepat, tapi tidak ada yang menjamin juga jika keputusannya akan menjadi gagal. Jadi dia menggenggam prinsip itu erat-erat. Kadang, dunia dan takdir memang sangat suka mempermainkan hidupnya. Tapi memang seperti itulah keadaan. Manusia akan selalu terbayang dengan ketidakpastian yang mutlak. Sekali pun dia berhasil menyelamatkan Dazai dan menerima konsekuensi, biarlah itu terjadi. Dan jika pun dia mati karena konsekuensinya, dia harap Dazai tetap mau hidup tanpanya—tapi tampaknya itu mustahil juga. Nah, lagi pula dia sudah tidak peduli lagi.

Dia bahkan sampai di buat bertanya-tanya, bisa jadi semua ini adalah sebuah kutukan.

Kutukan yang sangat kuat yang sudah melekat erat di jantungnya.

Nah, cinta memang sebuah perasaan yang aneh dan rumit.

Dia tidak pernah mengerti hal itu.

Bahkan sampai detik ini.

Hanya saja, ketika dia melihat Dazai untuk pertama kali setelah terbangun dari koma, dia berpikir jika cinta juga bisa indah. Dan dia berkata pada dirinya sendiri, jika dia ingin terus merasakannya, walaupun kadang terasa sakit dan tidak mengenakkan. Tapi memang seperti itukan cara kerja sebuah perasaan?

Semua hal yang telah dia korbankan, semua risiko yang telah dia berani ambil. Sangatlah sepadan untuk Dazai. Memikirkan itu membuatnya tersenyum, tangannya tidak pernah berhenti mengusap pinggang Dazai di pelukannya. Dan perasaan yang dia rasa saat ini, tidak sepadan dengan kata apa pun. Dia mengecup rambut Dazai, dan Dazai semakin mendekat kearahnya.

Dia juga sudah mendengarnya, dia koma dalam waktu yang lama. Cukup lama hingga membuat orang menyerah pada dirinya, tapi tidak dengan Dazai. Mengetahui hal itu kadang membuatnya sakit. Dia merasa bersalah sekaligus bersyukur Dazai masih bersedia untuk menunggunya bangun.

"Sedang memikirkan apa?" Dazai berbisik padanya.

Dia melirik ke arah Dazai, kepalanya tertidur di dadanya. Katanya ingin terus mendengar detak jantungnya. "Semua." Ucap Satoru.

Dazai mengangkat wajahnya, mata coklat indah balik menatapnya. Dazai, walaupun sudah berbulan-bulan terlewat, dia tidak berubah sedikit pun. Masih sama, hanya sedikit lebih kurus. Alisnya terlihat terangkat, dengan cemberut berucap. "Sangat menjawab pertanyaanku, Satoru."

Satoru terkekeh, wajah cemberut Dazai selalu berhasil membuatnya gemas sendiri. Tangannya bergerak—selang infus yang masih terpasang di tangannya ikut bergerak—dia mengusap pipi itu yang mulai memerah.

Dazai berkedip cepat, malah makin menekan pada sentuhannya.

"Hanya kamu, itu saja." Dia menjawab.

Mata Dazai tertutup. "Hm?"

"Maaf dan terima kasih."

"Untuk apa?" Dazai membuka matanya, memiringkan wajahnya.

"Maaf karena membuatmu menunggu." Jari nya merapikan anak rambut Dazai. "Dan terima kasih karena telah menungguku."

Dazai mendengus, mengalihkan pandangan. "Tapi aku masih membencimu karena membuatku menunggu."

Dia tersenyum halus. "Tidak apa-apa, aku menerima rasa bencimu."

Two-Headed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang