Revisi : Edit
Sebenarnya, saat dia mengiyakan perjanjian itu dengan Satoru, dia merasa aneh karena begitu mudah baginya untuk menyetujuinya, dia bahkan sampai bertanya-tanya, di manakah rasa keraguannya? Dia tentu tahu rasa ragu itu ada—rasa ragu yang timbul sangatlah kecil sampai dia bahkan tidak sadar itu ada. Dan itu aneh.
Dia bahkan hanya butuh waktu beberapa menit untuk mengambil keputusan, terlalu cepat untuk risiko yang begitu besar ditanggung.
Tapi, kehangatan yang dia rasa dan rasa aman yang Satoru tawarkan, sulit untuk ditolak. Tepat pada saat dia mengatakan 'Iya' pada perjanjian itu, rasanya seperti selusin emosi yang berbeda saling bertabrakan di pikirannya. Meminta penjelasan yang logis kenapa dia bisa begitu mudah menerima perjanjian itu tanpa pertimbangan.
Masalahnya, dalam seumur hidupnya, dia tidak pernah menggantungkan harapannya kepada siapa pun. Karena jelas, itu adalah bodoh ketika kamu berharap pada manusia yang bisa membuatmu kecewa kapan saja dan lebih bodohnya lagi, adalah saat kamu tenggelam pada rasa kecewa yang kamu gali sendiri. Sungguh bodoh, tapi sayangnya sering berulang pada manusia kebanyakan.
Tapi di sinilah dia, terlanjur ketagihan akan rasa yang sebelumnya tidak pernah dia rasa, harapan. Karena di sana Satoru hadir dan memberinya secara cuma-cuma—tanpa ada motif tersembunyi. Jika tahu akan seperti ini, lebih baik dia tidak pernah merasakannya. Tapi sekali lagi, sudah terlanjur.
Dia membuka matanya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengepal erat, ujung kukunya menekan telapak tangan dan meninggalkan bekas lekukan. Sekarang, memikirkan Satoru dan berada di kamar Satoru saja sudah cukup membuatnya ingin menghilang dari muka bumi, atau mungkin mati saja—agar membuatnya tersadar jika dia tidak akan pernah pantas dalam sejuta tahun untuk seseorang seperti Satoru. Tidak akan pernah. Karena dia adalah manusia gagal.
Sekarang dia tinggal di apartemen Satoru untuk sementara waktu. Satoru yang menawarkan dan tentu dia menerima. Dia mencoba membiasakan diri dengan jadwal padat Satoru dan ketiga muridnya dalam pencarian kutukan ini. Dan juga, selain mengurus kutukan itu, Satoru dan ketiga muridnya juga kadang akan menerima misi lain di luar Yokohama—yang semakin menambah kesibukan mereka.
Sudah berhari-hari semenjak dia terakhir kali bertemu Satoru, setidaknya ketiga muridnya masih menyisihkan waktunya untuk pulang dan beristirahat, tapi Satoru tidak. Dan itu membuatnya gelisah.
Hanya sebatas pertukaran pesan dan telepon yang menjadi obat di antara mereka. Pekerjaannya di agensi detektif setidaknya juga bisa menjadi pengalih perhatian dari kekhawatirannya pada Satoru, tapi kadang gagal juga. Karena lagi dan lagi pikirannya akan kembali terbang pada kemungkinan negatif, selalu begitu sejak dulu sekali. Sudah seperti bagian dari dirinya, dia bahkan sampai terbiasa. Hanya berada di samping Satoru semua pikiran negatif itu hilang.
Sekarang dia sedang terduduk di kursinya di kantor agensi, terdiam begitu lama dan hampir akan muntah saat mengandaikan dirinya bahagia di suatu waktu nanti, menggelengkan kepalnya. Berani-beraninya dia bisa berpikir seperti ini, berani-beraninya dia berharap.
Apakah dia boleh berharap?
Tapi dia tidak dapat menyangkal jika pendiriannya selama bertahun-tahun runtuh begitu saja sejak dia pertama kali bertemu Satoru, tidak di ragukan lagi, dan sekarang dia baru menyadarinya. Lalu pertanyaannya, apakah dia pernah menyesalinya? Mirisnya, tidak. Sayangnya dia tidak pernah menyesalinya, karena dia naif dan memiliki harapan besar pada Satoru. Begitu besar sampai terasa sakit.
Apakah rasa sakit ini wajar?
"Sampai jumpa lagi besok, Dazai-san!" Ucap Atsushi, sibuk merapikan meja saat jam kantor berakhir—syukurnya Atsushi sekarang terlihat jauh lebih baik. Dia mencoba tersenyum kecil, mengangguk dan melambai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two-Headed Boy
FanfictionCrossovers: Satoru Gojo (JJK) X Dazai Osamu (BSD) Ringkasan: Ini akhir pekan, Satoru memutuskan untuk pergi keluar membeli kue. Saat matanya tidak sengaja melihat seseorang yang bersiap loncat dari jembatan setinggi 7 meter. Tentu saja dia tidak bi...