Di balik penutup matanya, Satoru menyaksikan dalam diam saat matahari tergelincir secara memesona. Dengan pemandangan di hadapannya sekarang, itu akan terasa luar biasa jika saja pikirannya tidak begitu kalut. Tentu saja yang dia pikirkan adalah Dazai, pertanyaan yang terus berputar seperti, bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja, apakah dia sedang kesakitan, apakah dia merasa sedih atau takut—mungkin keduanya.
Dia ingat sekali, kebiasaan yang selalu akan dia lakukan ketika merasa begitu putus asa adalah dia tidak akan mengizinkan dirinya untuk berharap tentang apa pun—berharap jika keadaan akan menjadi baik ke depannya.
Karena dia sadar, jika itu hanyalah ilusi. Coba pikirkan, berharap jika semuanya akan baik-baik saja bukan berarti semuanya akan baik-baik saja bukan?
Satoru melepaskan penutup matanya dan bersender pada kursi mobil. Dia benar-benar kacau sekarang, isi kepala dan tubuhnya berdenyut memprotesnya untuk beristirahat. Dia bahkan tidak ingat pernah menutup matanya lebih dari tiga puluh menit semenjak Dazai menghilang. Juga, semua makanan yang masuk ke mulutnya rasanya sudah seperti sampah saja, langsung dia muntahkan.
Mata birunya melirik malas pada Ijichi yang sedang menyetir dengan posisi tegang dan berkeringat dingin karena gugup—mungkin menyadari aura Satoru yang begitu muram sejak beberapa hari ke belakang. Tentu saja, siapa yang tidak sadar?
Bahkan dia sampai bisa melihat ketiga muridnya yang terlihat agak canggung ketika mencoba untuk mengobrol dengannya siang tadi. Dia sadar itu salahnya memang, setelah selesai mengobrol dengan Shoko waktu itu, moodnya langsung anjlok lagi ketika memikirkan pertemuan sebelumnya dengan kutukan. Dan hal itu tampaknya masih berefek hingga sekarang.
Menghela napas, matanya terasa berat sekali dan yang Satoru inginkan sekarang hanyalah tidur di kasurnya bersama Dazai, tapi sadar dia tidak bisa. Karena itu, dia akan melakukan apa pun untuk bisa mendapatkan Dazai-nya kembali.
Apa pun, tidak peduli jika hal itu bahkan tabu untuk di lakukan. Maka untuk itu, sekarang, berada di dalam mobil, dia sedang menuju rumah lamanya, rumah utama keluarga besar Gojo.
Dia bahkan sudah tidak dapat mengingat lagi kapan terakhir kali dia berkunjung ke sana, tapi sekarang di sinilah dia, terpaksa untuk kembali. Mau tidak mau ingatannya ketika dia masih tinggal bersama dengan keluarga kembali terngiang, lucunya hal tersebut selalu berhasil membuat dadanya sesak dengan cara yang aneh, dia tidak begitu mengerti.
Tapi bukan itu fokusnya sekarang. Dia menggelengkan kepalanya, hal yang harus dia lakukan sekarang adalah menemukan petunjuk di perpustakaan tua keluarganya.
Saat mobil berhenti di depan pekarangan rumah yang terlihat sangat megah dengan arsitektur Jepang yang Kental, Satoru segera saja keluar. Mengucapkan terima kasih dengan gumaman pada Ijichi, dan langsung melenggang masuk ke dalam.
Matanya tidak menatap apa pun, hanya lurus ke depan karena tujuan dia ke sini hanyalah perpustakaan. Dan berhenti ketika pintu perpustakaan yang di maksud sudah di depan matanya, pintu itu sangat besar dan cukup berat—terlihat berdebu juga.
Dia menghela napas dan berhitung dalam hati, setelah meyakinkan diri, Satoru membuka matanya dan segera membuka pintu perpustakaan itu. Sesuai perkiraannya, perpustakaan itu terlihat suram, berdebu dan berbau apek, tapi dia abai saja.
Berkedip, dia melangkah masuk. Dari sepatunya menimbulkan suara gema ketika dia menuruni tangga kecil di depannya, selain itu tidak ada suara apa pun di dalam perpustakaan ini.
Satoru menyalakan sakelar lampu dan satu hal yang dia tahu adalah, dia jujur saja merasa buta sekarang, tidak tahu harus memulai dari mana karena perpustakaan ini sangat lah besar dan banyak sekali menyimpan koleksi buku catatan dari berbagai generasi di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two-Headed Boy
FanfictionCrossovers: Satoru Gojo (JJK) X Dazai Osamu (BSD) Ringkasan: Ini akhir pekan, Satoru memutuskan untuk pergi keluar membeli kue. Saat matanya tidak sengaja melihat seseorang yang bersiap loncat dari jembatan setinggi 7 meter. Tentu saja dia tidak bi...