8

3.2K 360 63
                                    

When I see your face. I realized you are what I've been looking for all this time. And you ask why? I laugh and I said, Isn't it obvious that we're both destined, my love?

.

.

.

Satoru tentu sadar dengan apa yang ia katakan adalah terlalu kejam. Apa lagi jika ini ditunjukkan kepada Yuuji. Hanya saja ini adalah kenyataannya, para monster yang berada di gorong-gorong itu bukanlah manusia lagi—walau secara teknis mereka sebelumnya adalah manusia. Tapi sekarang mereka adalah monster yang otomatis para manusia itu sebenarnya sudah mati. Jadi dia dengan lantang mengatakan akan membunuh monster-monster itu. Mengabaikan bagaimana wajah Yuuji yang mulai menangis kecil. Lagi pula memang beginilah kenyataannya, sangat kejam dan Yuuji yang terlalu naif perlu menyadari hal itu walau dengan cara yang kasar. Begitulah apa yang coba dia katakan pada dirinya sendiri tapi gagal, karena jelas saja dia langsung merasa bersalah luar biasa saat melihat Yuuji mulai mena—tiba-tiba dia merasakan sikutan di bagian perut bawahnya, walau tidak begitu sakit tapi cukup membuatnya berhenti bicara.

Tentu saja itu adalah Dazai yang melakukannya, karena dia mungkin adalah satu-satunya yang cukup berani—atau dalam kasus ini tidak tahu—tentang status Satoru sebagai ketua klan Gojo—karena tentu tidak akan ada yang berani macam-macam dengannya apalagi dalam urusan adu kekuatan. Tapi ya, dia tidak bisa menyangkal cemberut saat Dazai sekarang malah sibuk berbicara dengan muridnya. Dan ya, sepertinya Dazai hanya menjadi sangat baik dengan cara menghentikannya berbicara terlalu kasar pada Yuuji. Dalam hati dia tersenyum untuk itu.

Dengan perlahan dia mendekat ke Dazai dan tanpa peringatan Satoru langsung menarik Dazai dengan melingkari pundaknya—yang ternyata cukup kecil—dan segera dia membawa Dazai ke pelukannya. Wajahnya dia taruh di pundak Dazai, hidungnya sedikit disampingkan ke leher untuk menghirup vanili. Dazai awalnya memberontak tapi dia mengabaikannya dan tetap memeluk, apalagi dari pandangannya dia dapat melihat wajah Dazai memerah menyala, imut.

Dan sampai ketiga muridnya menghilang dari pandangan, Satoru masih kekeh memeluk. Malahan tangan lainnya sekarang ikut melingkari pinggang Dazai yang juga kecil dan di sini dia tidak dapat menahan untuk merasa hangat di wajahnya. "Lepaskan." Gerutu Dazai yang malah terdengar seperti suara paling menggemaskan di telinganya. Dia semakin membenamkan hidung ke persimpangan leher Dazai dan bergumam tidak.

"Lalu apa? Kita akan seperti ini selamanya?" Satoru harap iya. "Ayo lepaskan, kamu kan perlu mengurus apa yang ada di dalam gorong-gorong itu." Tentu saja dia tidak lupa, hanya saja Dazai sudah seperti adiktif baginya untuk dipeluk. Dengan enggan, akhirnya dia melepas tanpa membuat jarak di antara mereka. Tangannya masih tertinggal memeluk pinggang Dazai, dan sepertinya Dazai pun tidak terlihat keberatan. "Aku akan menelepon rekanku, tidak apa-apa?" Tanya Dazai dengan tangan merogoh kantong untuk mengambil ponselnya.

Satoru mengangkat alisnya. "Untuk apa?"

"Tentu saja aku akan memintanya untuk datang ke sini, kau tahu membantuku mengurus laporan untuk TKP." Tanggap Dazai dengan mata sibuk ke ponsel, dari kedekatan jarak mereka dia bisa melihat nama Kunikida lah yang coba Dazai hubungi. "Tapi bukankah itu sama saja seperti kamu menyeret temanmu ke.... err—rahasia yang sangat-sangat besar ini?"

Dazai mendengus. "Nah karena alasan itulah aku meneleponnya, aku ingin Kunikida juga tahu."

Salahkah Satoru jika dia malah tersenyum geli dengan tanggapan Dazai? Sepertinya tidak. "Kamu juga kejam tahu."

"Berarti kamu tidak mengenaliku secara keseluruhan." Nada suara Dazai terdengar berayun—lebih seperti sedang menggoda.

"Haha ya?" Jawabnya, sedikit mendekatkan wajahnya pada Dazai. Mereka saling menatap—tidak juga, sebenarnya dia masih memakai penutup mata. Dengan berbisik dia berkata. "Jika seperti itu, aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Two-Headed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang