20

2.4K 242 79
                                    

Dazai membeku.

Dia kembali terbangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa berdebar. Dia mengerang, mengusap wajahnya yang basah oleh keringat dingin. Lagi dan lagi, dia kembali menghilang entah ke mana, dia sendiri pun tidak bisa menyadari, tahu-tahu sudah seperti ini saja. Terbangun dalam keadaan bingung.

Dazai hanya menggelengkan kepalanya pelan dan bangun menuju keran yang untungnya ada. Setelah mencuci wajahnya, dia terdiam untuk mengamati keadaan yang masih hening luar biasa. Sudah beberapa jam berlalu semenjak Satoru menemuinya—itu berarti sudah berhari-hari di bumi—dan dia masih belum bisa terbiasa dengan suasana suram di dimensi ini. Begitu hening dan putus asa, sangat cocok sebagai tempat bunuh diri.

Menghela napas, dia menyeret dirinya kembali duduk di dekat perapian yang sudah lama menjadi abu. Dia merasa langit berubah menjadi lebih gelap dari sebelumnya dan suhu yang semakin menurun hingga membuatnya menggigil. Dia melihat ke sekeliling, menghela napas saat tidak menemukan apa pun—dia langsung merasa bersalah ketika berharap Satoru kembali lagi datang untuk menemuinya.

Tapi pemikirannya langsung terputus ketika dia merasakan hembusan angin yang tiba-tiba berubah cepat. Dari kejauhan dia melihat sebuah titik hitam muncul, yang secara perlahan semakin membesar. Dazai menelan ludah dan tersadar—dia mengenali titik hitam itu sebagai lubang hitam. Dan dari kejauhan dia melihat ada seseorang yang keluar dari lubang hitam itu.

Langit menjadi semakin gelap, hingga cukup sulit untuk membuatnya mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi walaupun begitu, Dazai akan mengenali siluet tubuh itu.

Itu adalah kutukan.

Pupil matanya melebar ketika menyadarinya, secepatnya dia mengeluarkan pistol dan menodongkannya. Kali ini, tanpa ragu dia melepaskan satu peluru tapi meleset karena angin yang masih terus berhembus kencang. Berdecak kesal—semua pertanyaan tentang apa, kenapa dan bagaimana bahkan kutukan itu bisa tiba-tiba muncul, terus berputar di kepalanya, tapi dia abai. Dan memilih untuk mulai berlari.

Setetes air jatuh mengenai pipinya, hujan?

Dazai bergegas berlari melewati gedung-gedung kosong yang dia kenali, terus berlari melewati koridor. Telinganya berkonsentrasi untuk mendengarkan suara di sekitar, untuk beberapa waktu hanya ada suara rintikan hujan, ritme napasnya dan detak jantungnya yang begitu cepat.

Tapi sedetik kemudian muncul suara lain yang terasa tidak asing baginya, suara segerombolan kaki kecil yang sedang berlari. Menengok ke belakang, Dazai menahan napas ketika matanya melihat monster yang sama persis seperti di gorong-gorong waktu itu, dan sekarang para monster itu sedang mengejarnya. Dia hampir muntah ketika mengingat mereka dulunya adalah manusia.

Jumlah mereka lebih banyak di banding waktu itu, mungkin sepuluh? Lima belas? Dia tidak tahu. Dia hanya harus berlari. Dari semua suara tersebut, dia masih bisa mendengar suara tawa dan teriakan dari kutukan yang memantul di dalam bangunan. Suaranya begitu mengerikan, seakan dia sedang di kejar oleh psikopat gila yang sangat bernafsu untuk memutilasinya atau mungkin memang itulah yang ingin kutukan itu lakukan padanya.

Dazai cukup mengenali koridor di dalam bangunan tersebut karena dia sempat unjuk menjelajah ke sekitar dan dia juga cukup sadar jika koridor tersebut terlalu gelap tanpa bantuan senter. Beberapa kali dia menabrak dinding dan tersandung. Sedangkan suara di belakangnya semakin cepat mendekatinya, gema yang timbul membuatnya berpikir jika kutukan itu sudah hampir dekat di belakangnya—

"AAHH!"

Kakinya terasa seperti tidak sedang menapak apa pun, tubuhnya terguling jatuh ke bawah dan punggungnya menabrak keras permukaan tanah. Ternyata dia baru saja jatuh terjerembap ke dalam lubang tanah yang menganga. Dia langsung bangun dan mencoba keluar dari lubang itu yang beruntungnya bisa dia tanjaki, terus berlari mencari jalan keluar di dalam kegelapan yang hampir membutakannya.

Two-Headed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang