18

1.4K 181 25
                                    

That if I can't be close to you
I'll settle for the ghost of you
I miss you more than life (more than life)
And if you can't be next to me
Your memory is ecstasy
I miss you more than life

Ghost - JB

.

.

.

"Kamu harus membantuku Shoko."

Shoko yang di maksud mengabaikannya, terlihat sibuk menulis sesuatu hal—laporan di buku dan Satoru cemberut. Sudah berjam-jam berlalu dia mencoba membujuk Shoko untuk membantunya, tapi Shoko menolak dan mengatakan jika itu terlalu berisiko.

Setelah itu mereka berdebat, sangat panjang dengan terdiri dari Satoru yang mencoba menjelaskan segala teori yang sudah dia temukan di perpustakaan, lalu berlanjut dengan perdebatan dan perdebatan, sampai di titik Shoko akhirnya memutuskan untuk mengabaikannya. Satoru menghela napas, dia sudah menebak ini akan sulit.

Satoru berpindah dan duduk di depan Shoko. "Tolong Shoko." Dia tidak akan menyangkal jika suara yang dia gunakan terdengar putus asa. "Dia sangat penting bagiku."

Tangan Shoko terlihat berhenti menulis, sekarang menatap Satoru dengan pandangan serius. "Risikonya sangat tinggi, Jiwamu bisa hancur berkeping-keping."

"Ya, aku tahu." Jawab Satoru.

Shoko menatapnya seperti mencoba menilai apakah dia sudah gila atau tidak, tapi jujur saja Satoru sendiri pun tidak akan menyangkal jika dia benar-benar akan merasa gila sekarang.

"Kamu kenal aku Shoko, aku tidak mungkin akan rela berkorban sampai sejauh ini, jika hal itu tidak sepadan untukku." Iya, karena Dazai sepadan untuk apa yang akan dia korbankan.

"Dan aku butuh bantuanmu karena aku mempercayaimu untuk menjaga tubuhku yang akan dalam keadaan koma nanti." Tutupnya.

"Kamu akan tetap melakukannya bahkan jika aku menolak bukan?"

Satoru diam. Tapi di dalam pikirannya dia memang akan tetap melakukan ritual ini, ada atau tanpa bantuan Shoko.

"Dan apa? Kamu akan membiarkan tubuhmu yang sedang koma tanpa perlindungan begitu?" Tanya Shoko tajam.

Dia lagi-lagi diam saja dan tidak menjawab, Shoko yang menatapnya sepertinya menyadari jawabannya.

"Kamu sudah gila Satoru." Shoko menghela napas lelah.

Satoru menundukkan wajahnya, berpikir keras untuk membujuk Shoko—tapi ya memang benar seperti apa yang Shoko katakan, dia sudah gila dan tidak lagi memikirkan risiko.

Shoko bersender pada bangkunya, wajahnya memandang ke langit-langit ruangan, tampak melamun. "Para tetua akan marah jika mereka mengetahui rencanamu."

Satoru mengangkat bahu. "Jangan beri tahu kalau seperti itu." Jawabnya enteng.

Ruangan kerja Shoko hening setelah itu, Satoru hanya menatap tidak pasti pada sekitar, terlalu tenggelam dengan pikirannya sendiri. Jadi dia agak tersentak saat Shoko akhirnya berbicara. "Baik."

Satoru mengangkat wajahnya cepat. "Hah?"

"Baik, aku akan membantumu." Shoko menatapnya serius dan Satoru tidak bisa menahan senyum saat mengerti maksud perkataan Shoko.

Shoko bangun dari kursinya untuk mengambil buku-buku dan gulungan kertas yang Satoru sempat bawa dari perpustakaan—mengenai ritual dan teknik yang berhubungan dengan dimensi lain.

"Tapi Satoru kamu berhutang banyak padaku karena ini." Ucap Shoko sambil mulai membaca buku-buku tersebut. Satoru menanggapi dengan anggukan semangat.

"Oh dan satu lagi."

Two-Headed BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang