Kabur

2.9K 296 11
                                    

Selamat SAHUR dan Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1443 H / tahun 2022 masehi, untuk teman-teman pembaca. Sesuai janji, ada yang BARU dari buthor, ya ....

Happy reading!
________________

Suara pecahan gelas terdengar keras. Asya yang baru selesai salat ashar terperanjat. Dengan cepat ia bangun dari duduknya di atas sajadah, berlari keluar kamar. Tampak dari lantai dua rumah. Ayah tampak marah kepada Ramadhan, atau biasa dipanggil Madhan.

"Tampar aja, Yah! Biar Ayah puas!" bentak Madhan. Hal itu semakin menyulut Ayah untuk benar-benar menampar wajah putra bungsunya sendiri. Madhan diam, terpejam sembari menahan berbagai rasa yang hancur di dalam diri.

"Ayah!" teriak bunda. Asya, segera menuruni anak tangga. Ia menarik mundur tubuh Madhan. Mengusap pipi yang merah bekas tamparan.

"Kamu..., emang susah dikasih tau Ayah! Jangan seenaknya kamu hidup, Madhan! Kamu pikir, dengan kamu memilih jadi fotografer lepas, hidupmu bisa terjamin! Ayah kuliahin kamu untuk jadi orang sukses! Kamu laki-laki! Tanggung jawabmu besar! Segala tangan dan betis kamu tatto, maumu apa, hah!" maki Ayah yang cukup beralasan. Tapi selayaknya, jangan menampar. Ayahnya tetaplah salah.

"Fine! Madhan pergi!" Nada bicara Madhan meninggi. Bunda hanya bisa menangis sambil memeluk suaminya. Ramadhan melepaskan kasar pelukan kakaknya, ia berlari naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Pria dua puluh satu tahun itu baru lulus kuliah, seharusnya bekerja di perusahaan besar atas bantuan tantenya yang memiliki koneksi, tapi justru seenaknya memilih menjadi seorang fotografer lepas.

Ayah sakit hati saat hal itu terjadi, di tambah, tatto di tubuh putranya itu. Semakin menambah naik pitam ayahnya.

"Pergi kamu! Kamu kayak nggak tau agama! Apa yang kamu bikin itu salah, Madhan!" maki Ayah. Asya menyusul Madhan. Ia terkejut melihat adiknya merapikan pakaian ke dalam tas ransel.

"Dhan... Madhan jangan gini, omongin baik-baik sama Ayah, jangan pergi, Madhan." Asya membujuk, ia memeluk tubuh adiknya dari belakang. Dengan kasar, Madhan melepaskan pelukan itu tanpa bicara apa pun lagi.

Asya menangis, "Madhan ...," lirihnya. Adiknya itu tak peduli, dengan mengenakan kaus dan celana pendek selutut, Madhan melangkah keluar dari kamar itu. Bergegas memakai sepatunya lalu pergi begitu saja. Asya menangi, ia mengejar adik satu-satunya yang beda usia keduanya dua tahun.

"Madhan!" teriak Asya. Madhan berjalan cepat sambil memanggil ojek yang mangkal di ujung jalan. Asya kembali masuk ke dalam rumah.

"Ayah... jangan gini, Madhan kabur, Yah... kasihan dia, udah, Yah... udah...!" tangis Asya dan bunda pecah.

"Biarin Asya! Terserah Madhan mau jadi apa diluar sana. Jadi gembel sekali pun Ayah nggak peduli!" Ayah bersingut. Pria itu masuk ke dalam kamarnya. Asya dan bunda menangis pilu. Madhan bahkan meninggalkan kartu debet juga kartu kredit yang menjadi fasilitas ayahnya, entah berapa uang yang dibawa Madhan dan juga, pergi ke mana adiknya itu.

Dua hari berselang, Madhan duduk sambil mengedit foto di depan laptop miliknya. Kamar kosan temannya itu menjadi tempat tinggalnya sementara. Ia baru saja tiba di Yogya, kemarin, ia pergi dengan menggunakan bis.

"Dhan... lo nggak masalah kerja freelance, nggak dapat gaji bulanan, cuma perproyek aja," ujar temannya yang baru saja selesai mandi.

"Bebas. Nggak masalah. Mereka butuh untuk wedding aja atau lainnya, Bay?" tanyanya.

"Wedding, sih. WO mereka kurang fotografer memang, dan gue rekomendasiin elo. Gue buru-buru nih, lo kalau mau sarapan, di depan ada warung nasi, murah, kok, sepuluh ribu perut lo udah kenyang." Bayu segera memakai kausnya, lalu merapikan penampilannya lagi. Bayu teman satu SMA Ramadhan, ia sudah lulus kuliah dan sekarang diminta mengajar di kampusnya meraih ilmu, memiliki hobi yang sama dengan Madhan, fotografi, tapi tak diseriuskan seperti adik dari Asya itu. Bayu realistis, ia butuh kerja tetap dan mapan, beda dengan Madhan yang justru idealis dengan hasratnya itu.

Madhan mengacungkan ibu jari, Bayu sudah rapi, ia pamit ke kampus, kemeja yang biasa dipakai mengajar, dibawa dalam tasnya, takut lecak jika dipakai saat naik motor karena double jaket juga.

Madhan menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya, lalu memantik korek, ia sesap begitu dalam rokok itu. Menghembuskan asap tebal ke udara. Tangannya membuka dompet, uangnya tersisa seratus ribu. Madhan mendesah, ia harus cepat putar otak supaya bisa hidup dengan pilihannya, dan tidak lama-lama menumpang dengan Bayu.

Pandangannya menerawang ke arah jendela, ia termenung, mengingat tangisan Asya membuat hatinya gundah. Ia menyayangi kakaknya itu, Aysa tak pernah memojokkannya, walau saat tau ia membuat tatto, Asya hanya bisa bilang, 'Dhan, tau konsekuensinya, kan? Kakak cuma bisa doain, supaya hukumanmu kelak diringankan Allah, mudah-mudahan kamu taubat dan menyesal, ya.'

Madhan yang cukup kepala batu, hanya tersenyum sinis, lalu mematut penampilan barunya di cermin kamarnya kala itu. Ia menghela napas. Dimatikannya rokok itu, ia segera beranjak, ke kamar mandi untuk berwudhu, jam menunjukkan pukul delapan pagi, ia akan melakukan salat dhuha, baju koko dan sarung ia keluarkan dari dalam tas, bisa dibilang, walau ia nyeleneh, ia tak lupa menjalankan kewajiban lima waktu dan salat sunah lainnya. Baginya, itu tak bisa diganggu gugat, memang, ia masih terjerumus ke keinginannya sendiri, tapi, ia punya rem yang mampu diaturnya.

Madhan selesai salat dhuha, ia diam, air matanya turus perlahan, bukan... ia bukan ingat ayahnya, ia ingat air mata bunda dan Aysa. Hati kecilnya tak tega melihat dua wanita itu menangis karenanya, tapi... ia terlalu sakit hati dengan ucapan juga perlakuan ayahnya. Ia marah jika mengingat bagaimana ayahnya merendahkan dirinya. Tak hanya saat kemarin, tapi sebelum-sebelumnya juga.

Tangannya terkepal, ia menggeram tertahan, ingatan bagaimana ia diperlakukan tak adil, membuatnya semakin kuat untuk pergi dari hadapan keluarganya.

"Maafin, Madhan, Bun, Kak, Madhan akan baik-baik saja." Kemudian ia beranjak, merapikan perlengkapan salatnya. Ia kembali duduk, foto yang sedang ia edit, hasil jepretannya untuk prewedding teman kampusnya, ia diberi upah lima ratus ribu. Madhan punya uang tambahan sebelum benar-benar bisa mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya.

Sementara itu, Asya duduk dengan derai air mata selepas salat dhuha di musala kantor. Ia mengkhawatirkan Madhan, ayahnya bahkan tak acuh saat Asya basa basi membahas keberadaan adiknya itu. Nomor HP adiknya juga mati, Madhan memang mengganti nomor ponselnya. Ia akan benar-benar menghilang dari keluarganya.

"Ya Allah, lindungi Ramadhan di mana pun ia berada. Semoga Madhan terketuk hatinya untuk pulang, maafkan kesalahan Adik hamba juga, Ya Allah, jaga ia, berikan kesehatan untuknnya juga, Aamiin yaa rabbal'alamin." Asya mengusap wajahnya, ia mengatur emosinya, tak enak jika saat bekerja, rekannya melihat wajahnya sembab, ia tak ingin rekan kerjanya tau masalah keluarga yang sedang di hadapi.

Bersambung,

Halo... openingnya gimana? Sepertinya judul ini minim romansa percintaan ya, lebih ke keluarga. Semoga kalian senang membacanya 😊

Ramadhan datang, Ramadhan pulang (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang