÷24. Bye Luna

57 5 8
                                    

:: Bye Luna ::

Dan ini tambahan part sekaligus sedikit perbaikan. Selamat menikmati Luna's Letter for Anka.

::
::
::

JANGAN merajuk, apalagi nangis. Itu bukan Ravianka sama sekali.

Sesungging senyum tipis terbentuk tanpa persetujuan dari hati yang masih terselubung amarah. Membaca tulisan tangan di baris pertama surat yang diberikan Vania—yang katanya dari Luna—itu membuat Anka lupa akan rasa perih yang dideranya usai mendapat penanganan dokter di bangsal UGD rumah sakit.

Kamu pasti marah, kan? Jangan bilang, kamu sampai melakukan hal nekad.

"Sudah tahu aku akan melakukan ini, tapi kenapa tetap masih pergi tanpa permisi?" gerutu Anka kembali menata rautnya menjadi kesal tiada tara, ditekuk tanpa segurat ramah di wajahnya.

Jangan harap aku akan mengucapkan kata 'maaf', karena ini bukan salahku ya. Keadaan yang membuatku begini.

Anka menghela napas panjang, mengeluarkan sesak kecewa dalam rongga dada.

Dua hari setelah kamu menjalani operasi, ayahku mendapat perintah dari pusat untuk kembali dipindahtugaskan ke kota lain, dan itu jeda waktunya cepat sekali. Urgensi, katanya. Jadi mau tidak mau, aku dan ibu harus pontang-panting mengurus ini itu sebelum pindah. Kamu tahu tidak, Ka?

"Mana aku tahu! Kamu 'kan nggak cerita?" ketus Anka tetap dalam posisi sama menunduk khidmat membaca barisan kalimat yang tertulis di surat. Seakan-akan dia sedang berhadapan dengan Luna.

Aku sendiri yang mengurus kepindahan sekolahku, dibantu Ibu, tapi sedikit. Keren kan? Berani kan aku?

Seulas senyum kembali terbit menghiasi wajah pucat pemuda yang beberapa minggu lagi mencapai usia 17 tahun itu.

"Baru nyadar? Kamu kan memang pemberani, eh bukan ding, kamu itu orangnya nekatan!" celetuk Anka.

Beruntung UGD rumah sakit ini dilengkapi kelambu hijau sebagai pemisah antar pasien sehingga tak ada seorang pun yang melihat aksi mendumel Anka pada selembar kertas di tangannya.

Ka, makasih ya. Makasih buat semua hal yang kamu berikan buat aku.

Senyum diwajah Anka semakin mengembang bersamaan dengan dadanya yang tiba-tiba merasa penuh, sesak. Ada sekelumit nyeri yang menghunjam sesudut hati Anka, perih. Bahkan sakitnya melebihi sakit di area abdomen bekas luka jahitnya.

Makasih udah buat hari-hariku menyenangkan, mmm—menantang juga sih. Hehe. Aku seneng banget bisa kenal kamu, Anya, Vania, Kak Gio, Jeno si bule jadi-jadian itu dan juga si manis kesayangan, Apin.

Jdug!

Serasa ada benda tumpul besar yang baru saja menghantam relung hati Anka, menciptakan lubang besar yang merongrong sanubarinya dan itu rasanya sakit sekali sampai membuat kerongkongan Anka merasa tercekik. Senyum Anka berubah sendu. Meskipun bertambah lebar, tetapi ada kedukaan yang terbias di sana. Sekelebat bayangan sang adik, Davinka kembali bermunculan di otaknya.

Jangan sedih. Apin pasti sudah bahagia di sana. Dia udah nggak merasakan derita lagi. Jangan terlalu mengkhawatirkan Apin, nanti kamu down lagi. Itu hanya akan buat kamu sakit dan pasti bikin Apin sedih nanti. Kita doain aja yang terbaik buat Apin, ya, Ka.

Tanpa sadar, Anka mengangguk sendiri dengan mengusap kasar area kedua matanya.

Jangan terlalu membenci ayahmu juga ya. Bagaimanapun dia adalah orang yang menjadi sebab-musabab kamu hadir di dunia ini. Maafkan kesalahan dia, pelan-pelan aja. Aku yakin, kamu itu baik, baik banget malah.

"Halah, peres! Tahu dari mana kamu?" kata Anka spontan.

Jangan tanya aku tahu dari mana. Kelihatan udah dari wajahmu.

Anka terkikik, menyadari adanya kesamaan momentum antara dirinya dengan surat yang Luna tulis.

"Hah! Luna!" desahnya membuang kembali sisa sesak dalam dada.

Oke. Kayaknya ini udah terlalu panjang, kek cerpen aja.

"Nggak. Belum juga ada setengah!" gerutu Anka.

Anka, aku yakin kamu pasti bertanya-tanya 'kan? (semoga nggak sampai ngamuk sih, hehe) Kenapa aku nggak pamit sama kamu?

"Iya. Kenapa?"

Anka kembali menggerakkan manik hitam matanya, menyusuri baris kalimat yang tersisa di dalam surat itu. Sampai di satu titik, pemuda berambut sedikit basah oleh sisa guyuran hujan itu kembali tersenyum. Senyum yang lain dari senyuman sebelumnya. Lebar dan mengandung melengkung indah menampakkan sedikit giginya. Kalau kata Luna, itu senyum pepsodent mini Anka.

Karena bagiku, "ucapan selamat tinggal hanya untuk mereka yang mencintai dengan mata. Bagi mereka yang mencintai dengan hati dan jiwa, tak kan ada yang namanya perpisahan!"

Kakek Jalaluddin Rumi, aku pinjam kata-katanya sebentar ya.

See you on top, Anka. Semoga kita bisa saling sapa lagi di suatu "Hai" yang baru. Hehe!

Luna

Anka terkikik sendiri membaca penggal kata terakhir berupa suara tawa yang ditulis Luna. Seakan-akan ia benar-benar mampu melihat dan mendengar tawa dari gadis yang kini tak lagi bisa dipanggilnya dora itu.

"Luna," panggil Anka dengan kembangan senyum ada rasa berat dan di satu sisi ada kelegaan juga. Anka bingung dengan perasaannya. Dia harus senang atau bagaimana. Dari penggal surat Luna mendekati akhir bagian, Anka mengetahui jika memang dia tidak sendiri.

Luna juga merasakan apa yang selama ini ia pendam diam-diam. Secuil kasih sayang dan kenyamanan mulai menumbuhi bagian hati yang semula gersang. Namun, di lain sisi Anka harus menerima bahwa ia dan Luna untuk saat ini tak bisa bersama. Mungkin di suatu 'hai' yang akan datang, kebersamaan itu akan terwujudkan.

"See you on top too, Luna."

Anka berujar lirih seraya menyimpan lipatan surat Luna dalam genggamannya.

---o0o---

dengan ini kisah masa remaja Anka-Luna resmi selesai.
:)
-

terima kasih untuk Kak Reyna-Rain17 dan Jusakie_0115 juga teman-teman yang bersedia mengikuti jejak kisah Anka-Luna di masa remajanya.
Dan terima kasih sekali lagi untuk kak EarthtaenayEarthtaen.

---o0o---

Bojonegoro, 13 Mei 2022
Salam cinta
Nonasr

SKYDREAM 2012 [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang