"Hai Nona Dora!!" sapanya.
***
Tentang Anka yang berjuang mewujudkan mimpi demi menyembuhkan adik tersayangnya, Apin. Tentang Luna yang ingin menemani langkah Anka bersama teman-temannya. Tentang Gio, Anya, Vania dan mereka penghuni Skydream.
Semua...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
:: Hai Nona Dora ::
2012
:: :: ::
DIA laki-laki normal, tetapi wajahnya mencipratkan rasa manis bagi setiap pasang mata yang memandang. Mungkin karena hidung bangirnya, atau bibir tipis yang selalu melengkung, menggembungkan dua gundukan daging di wajahnya dan menimbulkan sensasi gemas ingin memakan bagi siapa saja yang melihatnya.
Rambut hitam kecokelatan miliknya dibiarkan tumbuh sampai setengkuk, poninya menggantung menyembunyikan sepasang alis tebal. Ah, mungkin gaya rambut itulah yang menyebabkan laki-laki ini terlihat manis---cenderung cantik, membuat rasa iri di hati Luna terbangun.
"Saya Anka."
Begitulah dua patah kata yang keluar dari mulut lelaki itu kala menjabat tangan besar ayah Luna, AKBP Adhi Widjaya---seorang kepala polisi yang baru beberapa bulan dipindah-tugaskan ke Kota Bandung.
"Hei Dora!" sapanya dengan melambaikan tangan yang lain. Jangan lupakan cengiran lebar pepsodent, yang membentuk senyum persegi itu. Menyebalkan sekali.
Gadis di belakang AKBP Adhi itu menaikkan kedua alisnya, lalu mendengkus kesal setelah menyadari pemuda aneh itu menyapa dirinya dengan panggilan Dora. Apa-apaan itu?
"Aw-aw!" ringis Anka kembali mengalihkan pandang kepada AKBP Adhi Widjaya, lalu beralih melirik tangannya yang digenggam erat oleh ayah Luna itu. "Hehe, anak Pakdhe lucu kayak Dora," ujarnya cengar-cengir.
"Iya, kamu monyetnya!" ketus laki-laki dewasa berseragam polisi itu.
Gurat ceria di wajah Anka langsung meluntur seketika berganti raut masam yang mengundang kikikan tawa Luna.
"Ambil ini!" AKBP Adhi menyodorkan ransel besar berwarna merah muda kepada Anka. "Bawa ini ke kamar anak saya!"
Anka menerimanya. "Ugh!" desah Anka. Punggung pemuda itu membungkuk, tak kuat menahan bobot ransel yang baru saja diterimanya.
"Ingat! Jangan macam-macam dengan anak saya! Kalau sampai kamu berani sentuh Luna...."
AKBP Adhi mengusap sesuatu di saku celananya. Sebuah senjata api legal yang bisa memecahkan kepala dalam sekali tembak. Mata Anka membulat seketika.
"Paham 'kan?"
"I-iya Pakdhe," ujar Anka tergagap.
"Satu lagi! Saya tidak pernah menikah dengan budhemu. Jadi, berhenti memanggil saya Pakdhe, mengerti?"
Anka meneguk ludahnya kasar. Tatapan garang dari ayah Luna sukses parah menciutkan nyalinya. Anka mengangguk terbata-bata menanggapi ucapan AKBP Adhi.