:: I See Your Pain, Again ::
::
::
::SEPULUH juta. Nominal yang begitu besar bagi Anka. Namun, akan terlihat receh apabila dibandingkan dengan keringat, darah dan nyawa yang harus dipertaruhkannya selama hampir setengah tahun belakangan ini.
Seandainya saja, uang itu masih dapat Anka pegang, mungkin ia bisa membelikan Avin kursi roda baru, mendaftarkan adiknya terapi dan mampu makan layak selama beberapa bulan ke depan tanpa harus kerja banting tulang.
Seandainya. Semua hal yang berlandas kata 'seandainya' akan selalu menjadi angan belaka. Karena yang telah berlalu tidak akan pernah terulang kembali, kecuali mereka dapat memutar waktu.
Hati Anka berkecamuk, dipenuhi rasa kecewa berbumbu amarah. Dalam hati kecilnya, Anka masih belum rela uang itu luput dari tangannya. Hasil receh dari kerja keras yang mempertaruhkan nyawa tak meninggalkan secuil kenikmatan pun selain rasa sakit di sekujur badannya.
Mungkinkah ini peringatan, agar Anka sadar bahwa hal yang dilakukannya selama ini tak pernah memberikan keuntungan, justru sebaliknya. Mungkinkah, Anka harus berhenti? Iya, Anka ingin sekali, tetapi ia tidak bisa.
"Wah, gambarnya lumayan juga. Thanks ya."
Anka mendesah ketika kesabarannya kembali diuji. Untuk saat ini, lebih tepatnya sampai kontrak kerja sama itu mencapai batas, Anka tidak boleh melawan si pirang yang kini memegang kertas bergambar anatomi ginjal milik Anka.
"Gambarin punya gue juga, dong!"
Kuku pendek dengan ujung hitam itu mengetuk-ngetuk kertas kosong di meja Anka.
"Kalian punya tangan, mata, dan otak, 'kan? Manfaatkan dengan baik, biar nggak jadi sampah di kolong jembatan!" sarkas Anka kepada si pemilik kertas dan siswa di sisinya.
Mereka adalah Agam dan Vero, teman sekelas Anka yang selalu menjadi ekor Jeno, si rambut pirang yang kini tengah meremat gambar anatomi milik Anka.
"Wah! Lo berani ngelawan kita sekarang?!" ujar Agam, menunjuk-nunjuk Anka dengan mimik wajah terkejut yang dilebih-lebihkan.
Anka masa bodoh dengan dua kurcaci milik Jeno. Ia sibuk membereskan alat tulis di mejanya, memasukannya ke dalam tas dan hendak bergegas keluar dari laboratorium biologi, mengabaikan ketiga biang onar dalam hidupnya.
"Siapa yang nyuruh lo cabut?"
Anka menghentikan langkah. Ia merotasikan matanya. Dalam hati, Anka merutuki situasi sepi laboratorium ini. Ah, seharusnya Anka langsung kembali ke kelas saja selepas jam pelajaran biologi sehingga ia tak perlu berurusan dengan tiga orang pengacau ini.
Anka memutar tubuhnya, menatap si pemilik suara. Si pirang ber-name tag Jeno. Pemuda itu berjalan terlalu santai dengan mata sipitnya melirik ke luar jendela laboratorium. Anka penasaran, ia pun mengikuti arah pandang Jeno. Tanpa Anka duga, saat itulah satu bogeman kuat mendarat tepat di sudut bibirnya, membuatnya tersungkur menabrak meja laboratorium.
"Wah! Keren Bos!" seru Vero, si pemilik rambut gaya landak.
Agam bertepuk tangan dengan girang di sisi Vero. Pemuda berhidung besar itu berada di atas angin, merasa Jeno tengah membela dirinya.
Anka menegakkan punggung, mengusap nyeri yang menancap di sudut bibirnya. Sakit.
"Lain kali jaga mulut lo!"
Anka menyeringai dalam tundukan kepalanya.
Kenapa? Apa kamu tersinggung?
Ingin sekali pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Namun, Anka menahannya. Ia masih cukup waras untuk menghadapi manusia berkendali nafsu di hadapannya ini. Anka tidak ingin menanggalkan kesehatannya demi orang-orang tak berempati ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
SKYDREAM 2012 [✔]
Novela Juvenil"Hai Nona Dora!!" sapanya. *** Tentang Anka yang berjuang mewujudkan mimpi demi menyembuhkan adik tersayangnya, Apin. Tentang Luna yang ingin menemani langkah Anka bersama teman-temannya. Tentang Gio, Anya, Vania dan mereka penghuni Skydream. Semua...