07. OVERTHINKING

495 103 6
                                    

Sabtu sore Naya habiskan bersepeda mengelilingi komplek Mega Cinere bersama Karin. Keduanya kebetulan sedang gabut, Naya hanya berdua dengan mbak Yuni asisten rumah tangga mereka di rumah karena mama tiba-tiba harus ke Bandung. Narendra dan Raia baru bisa ke rumah malam hari.

"Minum dulu Nay."

Karin menyodorkan sebotol Pocari Sweat ke Naya. Saat ini mereka berdua sedang berisitirahat sejenak di taman kompleks.

"Thank you hehehe."

Dua gadis cantik ini duduk berdampingan dalam diam sambil tersenyum memandangi anak-anak kecil yang asyik bermain di taman, mengembalikan ingatan mereka ke masa kecil dulu.

"Jadi ingat dulu gue selalu aja ngekorin kak Nayen sama Rian. Kak Nayen selalu aja protes, tapi Rian selalu senyum sama gue dan ulurin tangan dia buat genggam tangan gue." Ucap Naya dengan netranya yang tidak lepas memandangi sosok perempuan kecil yang sibuk mengekori kakak laki-lakinya.

"Dulu komplek gue isinya banyakan anak laki, jadi gue nggak punya teman cewek sebaya, makanya selalu ngekorin kak Nayen. Eh malah jadi dekat sama Rian."

"Nay mau tanya deh, sebenarnya lo sama kak Rian itu gimana? Kakak-adek zone, friendzone atau gimana?" tanya Karin. Walaupun sudah lama bersahabat, tapi Naya tidak pernah membicarakan soal hatinya atau curhat ketika sedang naksir seseorang. Termasuk perasaannya yang sebenarnya untuk Rian.

"Dih bosen sama pertanyaan ini. Ya biasa aja, bisa dibilang sahabat, bisa dibilang adek-kakak juga. Yang jelas, we both never cross the line." Jawab Naya sebelum kembali meneguk sisa minumannya.

"Tapi kok gue ngerasanya lebih dari itu yah? Kalo lihat dari sisi kak Rian, dia kayak pengen lebih. I mean, dia cakep gitu Nay tapi nggak pernah punya cewek serius. Kak Naren aja udah nikah, lah dia kenapa pacaran serius aja nggak? Bukannya nungguin lo yah?"

Naya mengedikkan bahu pelan tanda dia juga ragu harus menjawab bagaimana.

"Kalo lo sendiri gimana?" tanya Karin lagi.

"Yaaa, sayanglah. Lo tau sendiri sedekat apa gue sama dia."

"Bukan sayang yang itu Nay, perasaan lo sendiri gimana? Pas deket dia perutnya suka merasa geli gitu nggak?" Karin bertanya dengan ekspresi gemas karena Naya yang masih kurang peka.

"Kalo sekarang nggak lagi."

"Hah? Berarti pernah?" mata Karin membulat mendengar perkataan Naya barusan.

"Iya, dulu sebelum dia dekat sama kak Ghea. Nggak tau kenapa tapi tiba-tiba aja gue mulai melihat Rian dengan pandangan yang berbeda, tapi akhirnya gue sadar kalo Rian nggak akan pernah menyayangi gue lebih dari sekarang."

"Kok nggak pernah cerita?" tanya Karin lagi yang sekarang sudah menyerong duduknya agar bisa fokus pada Naya.

"Kan cerita sedih, patah hati pertama dalam hidup. Gue kan punya prinsip kalo gue nggak mau membagi cerita sedih, cukup disimpan sendiri aja."

"Tapi kan dia nggak jadian waktu itu kan? Kenapa nggak berani jujur?"

"Alasan klasik setiap ada yang terjebak friendzone, takut jadi canggung. Lagian juga gue lihatnya Rian kayak sedih banget waktu itu. Kak Ghea tuh udah klop banget kayaknya untuk jadi pasangan Rian, dia cantik banget, ramah, friendly. Udah tipe ideal Rian banget, dan mungkin dia masih susah move on."

Naya menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, teringat bagaimana pura-puranya dia dulu menyembunyikan perasaannya saat Rian mendekati Ghea dulu.

"Sekarang udah nggak lagi? Tapi kayaknya kak Rian udah jatuh hati sama lo deh."

AFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang