12. SHOULD I LET HER GO?

467 79 3
                                    

Rian memperhatikan Naya yang sibuk mondar-mandir di kafenya dari lantai 2 sambil tersenyum. Rian tidak dapat menyembunyikan wajah sumringahnya saat Naya tiba-tiba muncul di kafenya sore ini. Sudah dua minggu berturut-turut Naya tidak pulang ke rumah.

"Udah puas inspeksinya?" tanya Rian saat Naya sudah naik ke lantai 2. Sama seperti coffee shop punya Narendra, lantai 2 kafe Rian hanya dikhususkan saat ada reservasi atau untuk nongkrong keluarga dan sahabat-sahabatnya.

"Lama ngga kesini, desainnya makin estetik ih, keren. Kapan-kapan gue ajak teman-teman gue main ke sini yah?" Rian mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi gimana lo akhir-akhir ini jarang ketemu gue?" tanya Naya.

"Kangen lah, nggak ada yang ngerecokin gue."

Naya mendecih tapi senyumnya tidak pernah luntur. Rian sadar kalau Naya terlihat lebih bahagia akhir-akhir ini entah apa pemicunya.

"Udah evaluasi magangnya?" tanya Rian.

"Iya udah kemarin sore. Lancar sih, banyak dibantuin sama mbak Sekar, sama Jemi juga."

Ah, nama itu lagi, terlalu sering dan semakin nyaman disebut Naya.

"Jemio baik yah Nay? Kenalin dong ke gue." Ucap Rian dengan maksud basa-basi.

"Iya, orangnya mau kesini kok nanti." Rian terkejut tapi segera ditepisnya sebelum Naya sadar.

Naya lalu teringat sesuatu, pertemuannya tanpa sengaja dengan Ghea di lobi kantor. Ghea terlebih dahulu mengenali Naya yang agak pangling karena Ghea semakin cantik. Gadis yang pernah disukai Rian beberapa tahun yang lalu yang masih tetap ramah dan menyenangkan.

"Buru-buru nggak Nay? Temenin gue ngopi yuk? Kebetulan masih ada waktu sebelum ketemu klien." Ajak Ghea yang diiyakan Naya karena dia juga masih menunggu Jemio yang masih ada urusan.

"Kak Ghea apa kabar? Lama nggak ketemu."

"Baik Nay. Lo gimana? Katanya pernah kecelakaan yah?" tanya Ghea dengan raut prihatin.

"Iya tapi nggak parah kok, hanya retak di tangan kiri tapi udah baik-baik aja sekarang."

Dari cerita Ghea kemudian, Naya jadi tahu kalau Ghea ternyata satu kantor sama Revan tapi berbeda divisi.

"Dunia sempit banget kak, kak Revan adiknya ipar aku udah kayak kakak sendiri juga. Sahabatan sama Rian juga." Mendengar nama Rian disebut air muka Ghea sedikit berubah.

"Kak Ghea masih kontakan sama Rian?" tanya Naya.

Ghea menggeleng sambil tersenyum, "he asked me not to."

"Ih kenapa? Apa gara-gara kak Ghea nolak Rian?" tanya Naya polos.

Ghea sedikit terkejut, tapi segera dia tutupi dengan senyuman.

"Sebenarnya gue yang ditolak sih Nay, secara nggak langsung."

Naya melongo sampai mulutnya menganga, tapi dia tidak enak untuk bertanya lebih lanjut.

"Lo sama Rian gimana sekarang? Masih jalan?"

Naya mengernyit heran, "jalan dalam konteks apa nih kak? Kalo sebagai teman atau kakak yah masih seringlah. Akhir-akhir ini aja yang jarang karena aku sibuk magang."

Ghea memajukan badannya dan menumpukan kedua lengannya di atas meja.

"Nay, gue boleh tanya nggak? Lo nggak ada perasaan special untuk Rian?"

Naya tidak lagi terkejut saking terbiasa mendapat pertanyaan seperti ini.

"Rian udah kayak kakak aku sendiri kak, kita emang benar-benar dekat, kalo ketemu kayak saling nempel bahkan kak Nayen sendiri suka cemburu karena jadi keliatan Rian yang kayak kakak kandung aku. But both of us never cross the line, baik dari segi perasaan atau physical touch. Apa kalian gagal waktu itu gara-gara aku yah?" Naya bertanya dengan hati-hati.

AFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang