#1 (3 April 2022) : Tujuan Hidup

11 3 5
                                    

Q.S. Adz-Dzariyat[51] : 56

وَمَ خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.

Q.S. Al-Mu'minun [23]: 115

اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?

****

"Kebahagiaan, kesedihan, kebencian itu bagian dari dunia.Pencapaian, Kejatuhan, Persaingan, Hasrat, adalah naluri yang melekat pada dunia.
Dunia jelas fana. Dunia hanya bekerja sekali sebelum sirna. Aku tahu batasnya.
Salahkah bila aku ingin merasakan seluruh keduniawian ini?"

Padahal kalau kita lihat ayat di atas tadi jelas kan bahwa tujuan hidup adalah beribadah, menjadikan diri ini bermanfaat bagi seluruh alam. Maka asumsi barusan adalah suatu bentuk keduniawian. Apakah memang sebuah kesia-siaan?

Aku adalah manusia. Dan aku juga menyadari bahwa diriku seperti terbelah dua. Kalian tahu? Ketika aku melihat pencapaian orang lain entah itu kesuksesan atau intelegensi, aku merasa kalau aku underestimate, insecure. Aku sangat ingin berada di posisi seperti mereka yang lagi-lagi , pencapaian mereka adalah hal dunia : kaya, terkenal, dan bisa kuliah sampai lulus.

Ternyata ada orang lain yang negur -- teguran yang amat mengganggu karena lebih ke arah marah -- aku bahwa semua yang aku impikan tadi adalah hal sia-sia. Tidak akan berguna dengan dalil bahwa ketika maut datang, semua itu akan tinggal.

Oke, di sini aku mengerti. Sangat mengerti. Hanya saja perasaan aku belum menerima karena aku beranggapan kalau aku ingin merasakan bahagia. Aku ingin penebusan atas keresahan yang selama ini aku dapatkan. Apakah ini sebuah pemikiran dangkal?

Sebenarnya ukuran keduniawian seperti apa yang tidak boleh didambakan oleh manusia secara berlebihan? Setahu aku adalah jika manusia merasa iri pada saudaranya yang memiliki harta, itu yang tidak boleh. Karena takutnya rasa iri ini akan berakibat pada permusuhan atau sikap tidak bersyukur pada Allah SWT. Yah, aku paham hal ini.

Oke, mari kita coret satu pencapaian yang aku inginkan : kaya.

Jenjang pendidikan. Aku beranggapan bahwa aku ini adalah tipe orang yang senang belajar. Aku senang sekolah-- ini lebih karena aku itu anak rumahan banget, jadi kesempatan aku bersosialisasi hanya di sekolah. Seperti anak-anak lain yang senang akademis, tentu aku pengen lulus SMA lanjut ke Perguruan Tinggi. Aku ingin merasakan dunia akademis yang lain. Dunia di mana nggak cuma sekadar belajar mengajar, tapi juga meluaskan wawasan dan persepsi. Sayangnya, aku nggak bisa, karena aku nggak diizinkan. Memang belajar tidak hanya di bidang formal. Hanya saja sedih dan kecewa yang ku rasakan itu seperti perasaan sedih seorang gadis yang hubungannya dengan seorang laki-laki tidak direstui oleh orang tua. Analogi yang lebay kali ya, tapi ini serius.

Oke, untuk satu hal tadi lebih ke arah iri karena nggak dapat prestis dari menempuh pendidikan Perguruan Tinggi. Salah!

Karena aku sering direndahkan nggak cuma oleh orang terdekat, aku juga berpikir kalau aku ingin jadi orang terkenal supaya orang yang sering mandang aku sebelah mata ini jadi respek. Lagi-lagi, karena aku masih hopeless aku bisa apa sih?

Ketika semua pikiranku ini membuat diriku masih dalam taraf Beribadah Hanya Sekadar Melunturkan Kewajiban dan Pelarian, mungkin aku pantas dikatakan sebagai manusia yang menyia-nyiakan kehidupan.

Apa memang benar? Keinginan aku untuk Mencari Bahagia Sebagai Pelunasan atas Duka yang ku Punya dengan Cara Berbaur pada Dunia adalah ide yang sama sekali tidak beriman pada Allah SWT?

🕌

Catatan Ramadhan 1443 HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang