#19 (21 April 2022) : Budaya Bicara Kotor

2 1 0
                                    

QS. An-Nisa' [4] : 148

لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْۤءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلَّا مَنْ ظُلِمَ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيْعًا عَلِيْمًا

Allah tidak menyukai perkataan buruk, (yang diucapkan) secara terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِيْ مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيْءَ

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang paling berat ditimbangan kebaikan seorang mu’min pada hari kiamat seperti akhlaq yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” (Hadits Riwayat At Tirmidzi nomor 2002, hadīts ini hasan shahīh, lafazh ini milik At Tirmidzi, lihat Silsilatul Ahadits Ash Shahihah No 876).

****

Cara bicara, tutur kata tidak terjadi begitu aja. Ada semacam latihan yaitu berupa kebiasaan bicara macam apa yang didengar selama hidup. Aku kayaknya lebih menggarisbawahi faktor tutur kata dari sejak kecil. Kedengarannya sepele sih. Tapi baru terpikirkan ketika membandingkan kadar sopan tidaknya bertutur oleh satu orang dan orang lain. Aku lalu bertanya-tanya kok ada ya yang lisannya gampang gitu ngomong kasar atau kok bisa ringan banget ngomong gitu.

Tiap orang tua pasti ngajarin ngomong sopan dong. Nggak boleh ninggikan suara, nggak boleh ngomong ketus, nggak boleh mencaci maki. Minimal itu aturan buat bicara sama yang paling tua deh. Sering juga aku perhatikan konsekuensi yang akan didapat oleh si anak jika dia berani--bahkan sekadar menirukan-- suatu bentuk kata caci maki. Dimarahin pasti. Nyaris tidak pernah aku lihat orang tua yang tidak negur anaknya yang mulai coba-coba ngomong sembarangan. Jadi, didikan dari orang tua ; cek!

Nah biasanya nih kalau udah masuk lingkungan kelompok bermain dan/atau sekolah di mana seorang anak dapat memperbarui kosakata umpatan dan caci maki. Aku sendiri nggak ngerti deh, nih anak yang jadi sumber dan ngajarin ngumpat-ngumpat dapatnya dari mana. Yang jelas, kosakata ini tetap beredar. Kalau aku, karena SD-nya MI jadi belum kenal ngomong kotor. Baru ketika SMP aku tahu banyak. Pernah praktek sih, sebatas di sekolah dan--percaya deh-- hanya beberapa yang berhasil keluar dari lisan. Sejujurnya nggak ada hebatnya juga ketika aku menyuarakan itu. Lebih ke semacam tren, nggak begitu ngaruh apa-apa. Dan karena dari kecil aku tidak terbiasa ngumpat-ngumpat, sekalinya ngomong kotor malah terasa ada yang janggal. Nggak enak. Bukan sok suci, karena kebiasaan doang ah!

Makanya segala bentuk kejadian, umpatan pasti terlontar. Sekali lagi faktor kebiasaan. Pas terkejut atau dikejutkan; apa hayo yang disebut? Pas dengar berita mengejutkan dan tak terduga. Dan ketika tersinggung dan marah; wah ini sih semua bahasa keluar! Dari sisi aku yang dengar sih kayak ada sensasi gatal dan ngilu gitu. Dalam satu kasus malah ada yang mencela penyakit yang diderita dan mencela hujan turun--keterlaluan sih ini. Itu sebabnya kenapa aku sampai bertanya kok bisa. Terang aja mereka bisa, itu karena bawaan diri mereka. Reaksi dan respon alami jika menghadapi sesuatu. Kalau ditanya apa ruginya ngomong kotor dan kasar, balik lagi ke persepsi masing-masing orang.

Kalau aku pribadi : 1. Jelas nggak enak didengar; 2. Memicu sakit hati (ya iyalah! Dikatain sial, brengsek, dll. pasti tersinggung walau sebentar) ; 3. Mengurangi nilai kesantunan.

Terkecuali omongan ini hanya beredar antara kelompok sendiri, itu jadi urusan masing-masing. Alangkah baiknya tetap jaga kesantunan dalam bertutur. Manusia itu kebanyakan adalah orang berpendidikan kan, bukan orang yang tak sekolah--walau orang yang tak sekolah sekalipun nggak mau dianggap seolah mereka barbar tak punya adab dan harga diri.

🕌

Catatan Ramadhan 1443 HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang