Q.S. At-Taubah [9] : 105
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan."
****
Ikhlas itu buatku memang hal yang tidak mudah. Ketika hati masih belum bersih. Apalagi kalau sedang stres, pikiran nggak karuan, yang terjadi justru malah baperan. Ketidak-ikhlasan bisa jadi merupakan suatu bentuk lain dari tidak bersyukur. Ya kali pas aku melakukan sesuatu untuk orang lain, aku malah berharap ada hal lain dari sekadar ucapan terimakasih mereka. Sebuah penghargaan. Sebuah pengakuan. Berasa kayak ngejar tanda jasa nggak sih? 😅
Jadi, memahami ikhlas secara simpel buatku adalah lupa. Lupa kalau udah berbuat baik. Lupa kalau udah nolong orang. Dengan lupa begitu, aku nggak repot-repot mikir, apa yang akan ku dapat di kemudian hari bahkan aku nggak kepikiran berapa pahala yang Allah SWT janjikan.
Masalahnya, kalau amalnya bersifat sesekali dan dilakukan kepada orang lain, aku bisa dan gampang untuk lupain. Akan lebih susah dan banyak cobaannya ketika kita melakukan kebaikan kepada orang terdekat.
Aku terbiasa jadi yang paling sering nolongin ortu--nah lho, ini udah riya' kan. Salah satu penyakit hati yang selalu mampir adalah aku suka iri atau sakit hati kalau saudara yang lain cuma santai, lebih banyak waktu luang, nggak perlu dipersulit sama pikiran "Eh, habis ini aku ngapain lagi nih" "Wah udah nyuci, ngapain lagi nih" . Dan akan makin diperparah kalau ada insiden dimarahin, aku juga ikutan kena. Nah, mulai tuh aku mikir betapa menyesalnya aku udah apa-apa-- selama ini aku kalo kesal atau marah cuma bisa didiamkan.
Tidak jarang aku juga nanggung kebutuhan rumah. Secara tidak langsung aku jadi tulang punggung. Sebagai manusia yang pasti punya keinginan, aku tentu pernah ngalamin pengen beli ini beli itu buat kesenangan pribadi. Sayangnya, seringkali aku urungkan karena aku mesti mendahulukan kebutuhan keluarga. Jangan tanya apakah aku pernah menyesal, pernah! Penyesalan itu akan diperparah kalau liat saudara lain bisa me-royal-kan diri sendiri, bisa beli apa pun yang dia suka, apa aja yang dia mau, tanpa perlu memikirkan yang lain.
Dalam hal seperti itu, keikhlasan sangat jarang muncul dalam diri aku. Aku pernah mencoba mengabaikan, ternyata iri-lah yang menang. Aku lupa kalau Allah SWT tengah mempersiapkan sesuatu khusus untukku. Dan karena sikap duniawi ku masih dominan, pernah pula aku mengacuhkan janji-Nya.
Ikhlas itu lebih mirip cabang olahraga. Perlu latihan intensif biar bisa sampai profesional. Sedikit demi sedikit. Pelan-pelan. Hanya saja kalau nggak dibarengi dengan penyadaran diri bahwa Keikhlasan Akan Membawa pada Ketenangan, hasil akhirnya tetap gitu-gitu aja. Ya itu, pikiran tetap pening gara-gara mengkal karena perbuatan baik aku--berasa--nggak dihargai apalagi dibalas dengan sepadan.
Bukankah balasan untuk keikhlasan hanya Allah-lah yang akan Memberi?
🕌
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Ramadhan 1443 H
NonfiksiRamadhan, bulan suci yang selalu dinanti. Udah mau nyiapin apa nih buat ngisi bulan penuh keberkahan? Ramadhan jadi media untuk pelatihan keimanan, penambah kuantitas dan kualitas ibadah, serta media introspeksi diri. Ramadhan adalah waktu saat seti...