Sakit

2.4K 463 6
                                    

Seperti calon pengantin pada umumnya, Hani merasa kalau akhir-akhir ini pikirannya penuh. Banyak tersita untuk ikut pusing memikirkan bagaimana hari pernikahannya nanti yang akan segera tiba. Padahal, mereka dibantu oleh wedding organizer yang dipilih sendiri oleh Tian.

Belum lagi, Nano yang masih saja susah untuk dihubungi. Lelaki itu hanya sesekali muncul, lebih banyak bepergian dengan alasan ada job yang ingin ia lakoni. Nano memang hobi bermain alat musik, itu sebabnya ia mau-mau saja untuk diajak manggung di kafe-kafe, meskipun bayarannya tidak sebanding dengan gajinya sebagai guru musik di sekolah ataupun di les pribadi yang menggunakan jasanya.

Pada akhirnya, Tian tahu kalau Nano marah dan kecewa pada mereka berdua. Tetapi seperti halnya Hani, Tian tidak bisa berbuat lebih. Kesibukan sebagai calon pengantin membuat waktu dua puluh empat jam dalam sehari rasanya kurang. Sampai kadang, rasanya ia baru bangun tidur, lalu sibuk seharian, pulang hanya untuk tidur beberapa jam saja. Itu pun ia mulai tidur setelah lewat dari pukul satu atau dua pagi. Kalau tidak didukung dengan vitamin dari orang tuanya, mungkin Tian sudah tumbang di hari ke sekian, mengingat cuaca pun sedang buruk.

Hani pun tidak jauh berbeda. Nafsu makannya menurun. Beberapa kali ia harus meminum obat sakit kepala agar denyutan di kepalanya mereda. Kurang dua minggu dari hari pernikahannya, Hani justru tumbang. Sekarang ia berada di rumah sakit, dengan selang infus menancap di tangan kirinya. Berat badannya menurun, membuat kebayanya terlihat longgar, saat ia fitting terakhir kali dua hari yang lalu.

“Jangan dibawa stres, Han. Biasa aja, kayak Mama gini,” ujar Widuri saat jam kerjanya selesai, lalu mampir ke ruang rawat inapnya.

Widuri tidak bekerja di rumah sakit yang sama dengan suaminya, tetapi jadwal kerja mereka sering kembar, sehingga waktu untuk berada di rumah bersama anak-anak mereka pun bisa semakin banyak.

“Nggak bisa, Ma. Apalagi sekarang cuma di rumah doang, nggak ada kerjaan. Bengong aja, malah jadi kepikiran lagi ntar kayak gimana pas hari H.”

Widuri terkekeh, ia mengambil sebutir jeruk dan duduk di kursi di samping brankar Hani. Mengupas kulitnya, lantas mengunyahnya sendiri, karena Hani menolaknya. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Fitriyah sedang pamit pulang untuk mandi dan menyiapkan bekal menginap malam ini. Sedangkan Taufik pamit ke kantin untuk mengisi perut. Rian yang pulang lebih cepat pun sedang menemani ibunya di rumah. Mereka bergantian menjaga dan memberi support untuk Hani agar segera sembuh.

“Santai aja, pasti lancar, kok. Kamu berdoa aja yang baik-baik, jangan malah mikir jeleknya,” ujar wanita itu lagi.

Hani hanya tersenyum kecil. Mana bisa dia membantah ucapan calon mertuanya. Padahal, Hani ingin berkata, “Iya Mama udah nikah, udah ngerasain deg-degannya kayak gimana. Sekarang kan giliran aku, Ma,”, namun perkataan itu tentu hanya terucap di dalam hati.

“Ma, Tian itu ... kalau di rumah kayak gimana?”

Hani penasaran, karena ia akan tinggal dengan lelaki itu nantinya. Apa yang Hani tahu selama ini, belum tentu merupakan wujud asli Tian, karena pria itu bisa saja bersembunyi di balik topeng, mengingat akhir-akhir ini ia sering melihat kelakuan Tian yang berbeda dari biasanya.

Mendengar pertanyaan itu, Widuri terkekeh. “Ya kayak yang kamu kenal selama ini. Tian itu turunan Papa banget, Han. Kamu yang sabar aja nanti, ya? Jadi istrinya pasti harus lebih banyak stok sabar. Mama aja heran, kamu selama ini betah banget sama dia mulu,” ujarnya diakhiri tawa kecil di akhir.

“Karena Tian baik, Ma.”

Widuri tersenyum. Ia mengabaikan jeruknya, kedua tangannya menggenggam tangan Hani dengan lembut. “Kamu juga baik, Sayang. Mama beruntung, deh, bakalan punya mantu kamu. Kalau bukan kamu, mungkin Mama harus belajar lagi memahami orang, yang belum tentu sebaik kamu nantinya. Kamu nih, bisa terima Tian apa adanya. Dia ngeselin banget, kan? Mama heran, anak Mama yang suka ngomong cuma Giani doang.”

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang