Berbeda

1.7K 382 17
                                    

Ada yang masih nungguin?


























Sore itu, ketika Tian pulang ke rumah, ia mendapati motor yang tidak asing sama sekali. Juga tawa Hani yang bersahutan dengan tawa lain, dari seorang lelaki.

Teringat dengan ucapan Renira siang tadi, tiba-tiba saja membuat rahang Tian mengeras. Ada rasa marah dan cemburu yang bergumul menjadi satu dalam dadanya. Apa karena ini, istrinya tidak mengangkat panggilannya sama sekali? Sejak kapan mereka berdua saja di rumah ini?

Kedatangannya membuat tawa itu mereda. Bisa dilihatnya sang istri yang tampak biasa saja. Tidak seantusias biasanya saat menyambutnya pulang bekerja. Hal itu memancing kernyit di keningnya muncul. Rasa panas dalam dadanya menggelegak, ingin ditumpahkan, tetapi otaknya yang masih waras segera mengambil alih.

Tidak begini seharusnya ia menyikapi setiap ada masalah di antara ia dan Hani.

"Yan? Tumben pulang jam segini?" tanya Nano ramah. Lelaki itu bahkan bangkit untuk bersalaman dengan sahabatnya, merangkul tubuh tegap itu sejenak, walau Tian menyambutnya tanpa minat.

"Iya. Hani dari tadi dihubungi nggak diangkat-angkat," sahutnya sambil menatap tajam pada Hani.

Perempuan itu menghela napas, kemudian membuang tatapan ke arah lain. Bayang-bayang adegan di mana suaminya begitu mesra dipeluk perempuan lain, yang tidak lain adalah mantan kekasih si suami, membuat dadanya terasa panas. Belum lagi dengan berbagai dugaan yang bermunculan tidak kenal waktu, membuat ia lelah seharian ini.

"Mumpung gue lagi balik, jadi mampir bentar ke sini," kata Nano lagi.

Ia bukannya tidak menyadari bahwa ada yang salah dengan pasangan di hadapannya itu. Sejak saat ia datang ke rumah itu, Hani muncul dengan wajah sembap dan senyumnya tidak secerah biasanya. Lalu sekarang, saat Tian pulang, bukan lagi pelukan mesra seperti yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Oh, ya nggak apa-apa. Tapi gue naik bentar sama Hani, ya? Mau mandi gue," ujar Tian yang dibalas anggukan oleh Nano.

Lelaki itu hanya mengedikkan kepalanya, tidak mengatakan apa pun pada Hani. Tetapi Hani sudah mengerti. Ia pun mengikuti Tian yang lebih dulu berjalan ke atas.

"Gue ke atas dulu ya, No. Lo kalau mau makan atau ambil minum lagi, ke dapur aja."

"Iya. Udah, lo naik aja sana. Ntar Tian nungguin," usir Nano sembari mengibaskan tangannya.

Ketika Hani sampai di depan kamar, ia melihat Tian berkacak pinggang di depan lemari pakaian, membelakanginya dengan kepala yang tertunduk.

"Katanya mau mandi? Biar aku pilihin bajunya," ujar Hani santai, seolah tidak ada apa pun yang mengganggunya sejak tadi. Padahal, ia sedang menyembunyikan rasa kecewa dan sakit hati yang menusuk-nusuk dadanya.

Hani ingin menangis, meski sebenarnya ia sudah lelah menangis sejak siang tadi. Nano juga sempat menanyakan perihal sembap di wajahnya, tetapi tak bertanya lebih setelah tahu bahwa Hani enggan membahasnya. Ia tidak ingin orang lain tahu akan masalah rumah tangganya. Sekali pun itu Nano, sahabat mereka sendiri.

"Kenapa telepon sama chat aku nggak dibalas?" tanya Tian setelah membalik tubuhnya.

Hani berusaha menghindarinya, mendorongnya menjauh dari pintu lemari agar memudahkan perempuan itu mengambil pakaian untuknya. "Aku pulang dari rumah Mama tuh capek, terus tidur. Hapenya sengaja aku silent biar nggak ganggu," sahut Hani masih tidak mau menatap suaminya.

"Setelah bangun tidur pun, kamu nggak ngecek hape?"

"Ngecek, kok."

Tian mendengkus mendengarnya.

Pagi tadi, mereka masih baik-baik saja. Hani masih mengantarnya ke depan rumah dengan senyuman yang manis. Jangan lupakan kecupan mesra yang masih mereka bagi.

"Kenapa nggak balik telepon? Atau seenggaknya balas chat aku," imbuh Tian dengan tegas. Suaranya bahkan kental akan rasa marah. "Nggak susah, kan?"

Hani menghela napas. Matanya sudah memanas sekarang.

"Kamu tahu, nggak, aku kepikiran di kerjaan sama kamu yang nggak bisa dihubungi? Tanya Mama sama Mas Hendi juga katanya kamu udah balik dari sebelum jam makan siang, nganterin makanan ke kantor aku. Ke mana kamu sebenernya? Kenapa nggak ada ke kantor aku sama sekali?"

Hani akhirnya berbalik. Melemparkan pakaian ganti Tian begitu saja ke atas ranjang, lalu menatap Tian dengan malas.

"Iya, aku emang tadinya mau ke kantor kamu. Tapi nggak jadi. Aku langsung balik ke rumah karena ngerasa capek banget tadi," ujar Hani bohong.

Perkataan itu membuat Tian merasa bersalah seketika. "Kamu sakit?" tanyanya lembut sembari mendekat pada sang istri, berusaha menyentuh kening Hani, tetapi perempuan itu menolaknya.

"Enggak. Cuma capek aja," sangkal Hani, "udah sana mandi, kasihan Nano di bawah sendirian. Aku juga mau goreng ayam habis ini."

Tian menghela napas. Rasanya menyedihkan saat melihat Hani yang tampak menghindarinya.

Apakah ia melakukan kesalahan? Tetapi apa? Pagi tadi mereka masih baik-baik saja. Tidak ada raut seperti yang ditampilkan Hani saat ini.

"Kalau masih capek, biar aku aja yang goreng ayamnya nanti," tawarnya lembut, berusaha untuk tidak terpancing oleh sikap sang istri yang menurutnya aneh itu.

Namun, Hani hanya menggeleng pelan. Perempuan itu berbalik untuk kembali mengambil pakaian milik Tian di dalam lemari, meletakkannya di atas pakaian lain yang ada di atas ranjang, lalu memperbaiki tatanan di lemari yang agak berantakan.

"Udah, kamu mandi aja sana. Aku buatin teh hangat di bawah. Belum minum apa-apa kan kamu tadi?"

Tian menghela napas, tidak mengatakan apa pun. Ia hanya bergerak maju untuk memeluk perempuan yang ia rindu seharian itu, lantas menghirup aroma rambutnya yang bercampur dengan keringat.

"Ya udah, aku mandi dulu. Jangan cemberut gitu terus sih kenapa? Suami pulang kerja loh ini, malah dicemberutin," ujarnya, yang lantas membuat Hani membalik tubuh.

Perempuan itu mendongak untuk bisa menatap Tian yang lebih tinggi darinya. Membiarkan Tian mengusap kepalanya. Hatinya berkecamuk, ia bingung, apakah harus menanyakan kegiatan Tian siang tadi, bertemu dengan siapa, apa yang lelaki itu lakukan, atau diam saja, seolah tidak mengerti apa pun. Hani takut kalau apa yang ia lihat adalah kenyataan yang selama ini bersembunyi darinya.

Rasanya, ia tidak ... pernah siap untuk kehilangan lelaki ini.

Dengan matanya yang sudah memanas dan berbayang, Hani memeluk Tian. Meremas kemeja lelakinya dengan erat. Hidungnya menghirup aroma yang amat familier untuknya.

Semua ini adalah milik Tian, yang tidak akan pernah Hani ingin ganti atau pun bagi dengan siapa pun. Meskipun mungkin Tian masih memiliki perasaan terhadap Renira, bukankah sekarang lelaki ini miliknya? Bukankah sekarang tugasnya untuk membuat Tian balas mencintainya?

Di sisi lain, ada Tian yang kebingungan dengan tingkah sang istri. Namun, ia tidak bertanya apa pun. Membiarkan Hani memeluknya seerat mungkin, meski diamnya sang istri membuat ribuan tanya bergema di dalam kepala, namun Tian tidak akan membuat semuanya runyam sekarang. Ia akan bertanya, namun itu nanti.

"Aku mandi dulu, ya? Nggak enak ninggalin Nano sendirian juga di bawah," pamit Tian dengan lembut. Ia mengusap-usap punggung Hani dengan penuh sayang, juga mengecup puncak kepala yang tak jarang ia bacakan doa, agar kehidupan mereka penuh berkah dan selalu bahagia.

Hani mengangguk, melepaskan pelukan itu, meski sebenarnya enggan. Kedua tangannya bahkan masih mencengkeram dua sisi pinggul milik Tian, membuat lelakinya terkekeh dan melabuhkan kecupan di kening.

"Udah, turun aja dulu, nggak apa-apa. Aku cuma mandi bentaran doang, kok."

Hani kembali mengangguk, kali ini, ia melepaskan cengkeramannya. Meraih tangan kanan Tian, lantas menciumnya seperti yang biasa ia lakukan, sebab tadi, ia belum melakukannya.

Melihat hal itu, Tian tersenyum, ia kembali mengusap kepala Hani, lalu berbalik ke kamar mandi.


[•]

Typo?

Jumat, 9 Juni 2022.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang