Pillow Talk

2.8K 467 15
                                    

Nah, gitu, dong! Ramein lapakku pakai komen kalian 😭 aku jadi tambah semangat ngetiknya.

Oh, ya. Cerita ini nanti agak 'dirty' gitu wkwkwk.
Maksudku gini, dua orang sahabat, cewek & cowok yang pas udah gedenya nikah, pasti ada saat-saat mereka mikir 'ngeres' setelah nikah. Hal yang bahkan mungkin dulunya nggak terbayang sama sekali oleh mereka.

Ngerti kan, maksudku?

Makanya, aku kasih warning dari awal, kalau akan ada bab yang aku lempar ke karyakarsa, karena takutnya ada anak bau telon yang baca di sini 😅 nggak 'WOW' banget sih, enggak. Mikir juga lah aku, wkwkwk.















“Kapan kita nyari kontrakan?”

Tian baru saja keluar dari kamar mandi saat Hani melemparkan tanya itu. Di sisi lain, Hani sedang memakai lotion di depan meja rias. Sepertinya Hani baru saja memakai krim malamnya juga. Terlihat dari wajahnya yang sedikit berkilau dan botol-botol yang ada di atas meja menjadi buktinya.

“Tinggal pindah ke sana aja. Kalau kamu mau, besok pindahan juga bisa.”

Kening Hani mengerut. Ini maksudnya, Tian sudah mencari kontrakan itu sendiri? Mengapa ia tidak diajak? Kalau tidak sesuai dengan kemauannya, bagaimana?

“Kok, kamu nggak ngajakin aku, sih?” tanya Hani dengan bibir cemberut.

Tian mulai waspada. Apalagi raut wajah istrinya mulai berubah.

“Aku juga nggak tahu. Papa yang nyariin,” kilahnya mencoba membela diri.

“Papa? Kok gitu?”

Tian melambaikan tangan, meminta Hani untuk mendekat. Ia memainkan ponselnya dan menunjukkan sebuah gambar pada Hani. Sebuah hunian sederhana di sebuah kompleks perumahan yang rumahnya berbeda-beda. Hani melihat rumah yang fokus difoto itu bermodel minimalis dengan pagar teralis besi yang tidak begitu tinggi. Halaman depannya masih berupa gundukan tanah, yang kemungkinan sisa hasil pembangunan atau renovasi rumah tersebut.

“Loh, emang di perumahan kayak begini ada yang dikontrakin?”

Tian meringis. Ia jadi merasa bersalah karena menyembunyikan hal ini, tetapi tidak selamanya ia bisa menyembunyikannya dari Hani, kan?

“Ini hadiah dari Papa sama Mama,” ujarnya memberitahu.

Hani langsung mendongak. Menatap suami dan ponsel di tangannya bergantian.

“Ma-maksudnya, mereka bayarin kontrakan rumah buat kita?”

Tian tertawa mendengar pertanyaan lugu itu. Salahnya juga kalau Hani berpikiran seperti itu. Memang ia yang mengatakan kalau mereka akan mengontrak, tetapi ia tidak berpikir kalau Hani tidak bisa menangkap maksud perkataannya barusan.

“Bukan, Hani. Ini hadiah dari mereka buat kita. Dibelikan rumah.”

“Kok gitu?” tanya Hani sedikit tidak terima.

“Ya kenapa enggak? Papa emang udah ngomong dari dulu, kalau nanti anak-anaknya udah menikah, bakalan dikasih rumah buat tinggal sendiri.”

Hani masih terdiam. Ini mengejutkan. Memang ia bermimpi memiliki rumah sendiri kalau sudah menikah. Namun, dalam bayangannya sejak dulu, ia dan suaminya akan bekerja keras siang sampai malam untuk mengumpulkan uang demi bisa membangun rumah impian. Bukan tiba-tiba diberi seperti ini.

Iya, dia senang. Dia bersyukur. Artinya, Hani memiliki mertua yang baik hati. Memikirkan bagaimana anak dan menantu mereka dengan begitu baik. Namun tetap saja, Hani masih merasa tidak percaya.

Hani tahu, Nandito punya beberapa bisnis yang menjanjikan, yang pasti membuat kehidupan anak dan istrinya semakin makmur. Pasti bukan hal yang sulit memberikan satu buah rumah untuk setiap anak-anaknya. Papanya pernah berkata, kalau mertuanya dulu bukan orang seperti sekarang. Bahkan bisa dikatakan, Nandito baru memiliki nama setelah menikah dengan Widuri, yang memang anak seorang pendiri rumah sakit. Meski begitu, kinerja Nandito tidak main-main. Ia bisa membuktikan pada semua orang, bahwa mereka bisa mengenalnya dengan namanya sendiri, bukan dengan embel-embel 'menantu pendiri rumah sakit'.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang