Bertemu Nano

2K 376 25
                                    

Hani baru saja selesai mandi saat suara klakson mobil terdengar. Rian yang sedang menganggur pun pergi ke depan, tetapi ia malah menemukan Tian yang sedang membuka gerbang lebar-lebar. Motor yang tadi pagi mengantarkan lelaki itu bekerja, kini berganti sebuah sedan yang Rian kenali sebagai milik Winarti.

“Kamu dari rumah Eyang?” tanya Hani yang ikut keluar. Rambutnya bahkan masih digulung handuk.

“Iya. Tadi disuruh mampir dulu, habis ada tamu, bawa mangga lumayan banyak. Jadi aku disuruh ke sana buat ngambil,” sahut Tian yang kini sibuk mengeluarkan satu persatu bawaannya. Rian dengan tanggap membantu. Satu keresek mangga pun tidak lupa dibawa ke dalam bersama beberapa buah-buahan lainnya.

“Terus kenapa tukar mobil?”

Tian lebih dulu merangkul Hani dan mencuri sebuah kecupan cepat di bibir. “Biar nanti kita makan di luar aja. Kamu capek, kan, habis beres-beres rumah seharian? Mumpung ada Rian juga di sini.”

“Aku niatnya mau masak udang habis ini. Tapi kalau diajakin jalan, ya nggak mungkin nolak!”

Tian terkekeh mendengarnya. Ia mengikuti saat Hani menarik tangannya ke dapur, sudah ada segelas es teh dan juga beberapa makanan yang dibawa Rian di sana. Adik iparnya sendiri sudah sibuk mengupas mangga.

“Cobain bakpianya, enak, loh!”

Setelah mencuci tangan, Tian duduk di sana. Menikmati kudapan yang disediakan sang istri untuknya.

“Mas, aku mau loh, kalau nanti lulus diajari main kamera,” kata Rian setengah meminta pada sang ipar.

Hani yang mendengarnya pun langsung mengernyit, “Kenapa gitu? Coba sih, kamu nyari kerjaan yang cocok sama pendidikan kamu dulu. Jangan langsung banting setir ke kerjaan lain.”

Rian mencebik, ia mengunyah mangga dengan sedikit tidak berselera. “Mbak kayak nggak tahu aja, aku ambil jurusan ini karena Mama yang mau. Di Jogja juga aku sering, kok, bikin video-video gitu.”

“Oh, ya? Video tentang apa?” Tian tampak antusias.

“Ya yang estetik gitu, Mas. Modal pakai hape doang, sih, tapi pengikut Instagram aku mulai rame.”

“Perasaan Instagram kamu gitu-gitu aja, deh,” sahut Hani sembari mengernyitkan kening. Ia lantas memainkan ponselnya, melihat akun media sosial milik Rian dan menunjukkannya kepada suami dan adiknya. “Nih, kan? Nggak ada video-video apa itu.”

Rian merebut ponsel kakaknya, lantas menunjukkan laman akun miliknya yang lain. Hani lantas berdecak, membuat ekspresi terharu dengan prestasi tidak terlihat yang dimiliki oleh Rian.

“Bagus ini, Yan. Bikin di Youtube juga, sih, pakai lagu yang nggak ada copyright kan ada,” usul Tian setelah melihat beberapa video yang dibuat oleh Rian. Ia melihat ada bakat pada diri Rian yang sayang untuk dipendam begitu saja. “Lumayan, Yan, bisa jadi sampingan. Sekarang toh banyak yang ngedit video pakai hape, kalau kamu masih malas ngedit pakai komputer. Hasilnya bagus-bagus juga.”

Rian cengengesan dipuji seperti itu, tetapi inilah yang ia cari. Bukan pujiannya saja, tetapi dukungan untuknya.

“Jangan cuma video kayak gini aja, coba bikin video produk apa gitu, kek. Siapa tahu ada yang ngelirik, kan lumayan, tuh,” usul Tian lagi.

“Nanti deh, Mas. Itu juga iseng-iseng dulu. Masih harus diasah biar bagus kayak bikinan Mas,” sahut Rian merendah.

“Ya makanya, harus sering diasah biar makin bagus. Iseng gini aja hasilnya udah bagus, gimana nanti kalau diseriusin?”

Rian mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh Tian, dan sangat senang karena mendapatkan dukungan.

“Udah sore, nih. Mandi-mandi cepetan!” ujar Hani kemudian, membuat suami dan adiknya mendengkus, tetapi tidak membantah. Keduanya pun pergi ke kamar masing-masing, sedangkan perempuan itu sendiri membersihkan gelas kotor sebelum menyusul sang suami ke kamar.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang