Rian Datang

2.1K 382 28
                                    

Aku lagi agak bingung, nih, hahaha 😆🙈 nama bab ini di draft aku tuh bab 28, padahal di sini baru bab 27. Sedangkan untuk di karyakarsa aku kasih judul KK 😅
Tapi aku buka-buka lagi, nggak ada yang rumpang, hahahaa. Nggak tahu, deh. Ntar kalau udah selesai semua bakal aku cek lagi.

Btw, buat yang belum dan kepingin baca lanjutan bab sebelumnya, bisa cek di karyakarsa.com, ya. Mana nih, yang udah baca di sana? Komennya mana? Di sana nggak ada yang komen masa 😅




























Sebelum keluar dari rumah, Tian lebih dulu menetralkan napasnya. Ia begitu terkejut dengan kedatangan adik iparnya yang begitu tidak tepat waktu itu. Kepalanya yang berdenyut nyeri, berusaha ia abaikan.

Saat pintu terbuka, Rian dan Pak RT memang tengah berdiri di depan gerbang rumahnya. Lelaki itu dengan cepat menghampirinya.

“Udah tidur ya, Mas? Kok, lama banget?” Rian bertanya dengan setengah mengeluh, mungkin lelah memanggil sedari tadi tanpa ada yang menjawab panggilannya.

“Iya, baru pulang terus tidur. Capek banget soalnya,” sahut Tian dengan sedikit kebohongan.

Mereka berbasa-basi sejenak dengan Pak RT sebelum keduanya masuk ke dalam rumah. Ada ransel besar di balik punggung Rian dan dua tas belanjaan di tangan yang terlihat penuh.

“Kamu baru banget balik dari Jogja?”

Rian sudah mengempaskan barang yang ia bawa, ia menyandarkan tubuh di sofa setelah melepas kaus kakinya. “Iya. Ke rumah malah katanya lagi pada ke rumah saudara, rumah dikunci. Ya udah, aku ke sini aja. Ada kamar kosong di sini, kan?”

Tian mengangguk, ia menggaruk kepala dan tampak bingung, lalu bergerak ke kamar tamu yang sebenarnya ia isi dengan perlengkapan kerjanya. Memang ada kasur di sana, dan kadang Hani terlanjur tidur di sana saat menemani Tian bekerja hingga larut malam, sehingga Tian memutuskan tidur di sana juga.

“Tapi ada peralatan kerja punya Mas, nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, deh. Kan nggak ditaruh di kasur juga.”

Rian mengikuti kakak iparnya masuk ke dalam kamar tersebut. Untung saja kamarnya rapi dan Hani memang rajin mengganti seprai dan sarung bantalnya. Barang-barang milik Tian juga disimpan dengan baik di atas rak, sehingga tidak ada barang berceceran yang membuat ruangan itu tampak seperti gudang.

“Kok, rapi banget?” tanya Rian curiga. Ia menatap Tian sambil menyipitkan mata. “Mas Tian nggak tidur pisah di sini, kan?”

“Enak aja!” sambar Tian cepat. “Emang kadang tidur di sini berdua kalau Mas lagi banyak kerjaan.”

“Terus, Mbak Hani mana?”

“Udah tidur dia. Kenapa? Mau minta dibikinin makanan?”

Rian mengangguk sembari memegang perutnya. “Tapi bikin sendiri nggak apa-apa, deh. Atau masih ada sisa makanan tadi, Mas?”

“Nggak tahu, lupa. Kita cek aja di dapur.”

Rian akhirnya memutuskan untuk mengolah mi instan, makanan yang paling gampang ia dapatkan saat lapar melanda tengah malam seperti ini.

“Ya udah, Mas balik ke kamar aja sana. Aku bisa, kok, bikin sendiri,” ujar Rian tanpa mengalihkan pandangan. Ia sibuk memotong-motong bahan pelengkap agar mi miliknya lebih banyak dan mengenyangkan. “Nggak bakal kebakaran, deh. Janji,” lanjutnya yang kemudian mengacungkan jari telunjuk dan tengah bersamaan setelah menoleh pada iparnya tersebut.

“Ya udah. Nggak usah dibersihin bekasnya nanti nggak apa-apa. Istirahat aja kamu,” kata Tian sambil mengacak rambut Rian sambil lalu. “Ya udah, Mas ke atas dulu, ya? Ngantuk banget.”

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang