Yang Tak Menjadi Nyata

1.9K 340 37
                                    

Halooooo!

Apa kabar, nih? Kangen, nggak?

Coba yang katanya kangen sama cerita ini, tapi belum follow aku 🤣 follow dulu boleh, dong 🤭

Part ini sama pendeknya kayak kemarin, karena emang sengaja, sih, kepingin yang pendek-pendek aja biar babnya banyak ntar 😂
Makanya, ayo beri aku semangat yang banyak 💪🏻👋🏻

Btw, bab ini agak mengguncang. Siapin mental dulu sebelum lanjut baca, ya 🙏🏻























Happy reading 🤗



















Sore ini hujan turun tidak begitu deras. Tian mampir sejenak ke sebuah warung bakso yang menjadi langganan ia dan Hani selama ini. Sore-sore yang agak dingin begini, pasti terasa tambah nikmat menikmati bakso yang panas dengan segelas teh atau kopi hanya berdua saja.

Membayangkannya saja membuat Tian mengulum senyum. Ia buru-buru membayar pesanannya saat seorang pegawai menyerahkan bungkusan padanya, lantas beranjak dari sana. Hujan yang turun akhir-akhir ini membuat Winarti memaksanya untuk membawa mobilnya untuk Tian pakai sehari-hari. Memikirkan kenyamanan sang istri juga, Tian akhirnya menerima usulan itu. Dengan begitu, ia pun tidak akan mengecewakan neneknya yang menaruh perhatian begitu besar padanya dan Hani.

“Lo tuh harusnya bersyukur banget, Yan, bisa dapetin Hani dengan begitu mudahnya. Lo tahu sendiri, kan, beberapa teman kita terang-terangan naksir sama Hani dari zaman dulu?” ucapan Wendi siang tadi, tiba-tiba saja terngiang di kepala Tian.

Mereka mendapat klien yang tidak lain adalah mantan kekasih Wendi. Berbeda dengan Tian yang ditinggalkan tanpa pamit, Wendi terpaksa berpisah dengan mantan kekasihnya itu karena ditentang keluarga. Wendi yang saat itu belum bekerja dengan baik, tentu saja menjadi salah satu alasan gampang dirinya ditolak oleh orang tua kekasihnya pada saat itu. Wendi harus merelakan kekasihnya dinikahi oleh orang lain, dan siang tadi, mantan kekasih Wendi ternyata datang untuk membicarakan masalah pre-wedding untuk pernikahan keduanya, setelah pernikahan dari jalur perjodohan itu kandas di tengah jalan.

“Lo masih suka sama Gita?”

Pertanyaan Tian itu tentu saja membuat tawa Wendi mengudara. “Ya enggaklah, Bro! Gue kan udah punya Lalis, gue nggak mungkin nikahi dia kalau nggak ada rasa sama dia. Gue cuma lagi bilang, bahwa lo itu beruntung banget bisa dapetin Hani. Gue yakin, nggak cuma karena eyang lo kepingin lihat lo nikah, makanya lo mau aja disuruh nikah sama Hani. Kita sama-sama cowok, Yan. Bisalah gue lihat kalau lo udah ada rasa sama Hani sejak sebelum kalian nikah.”

“Tapi Hani bilang, dia dulu sukanya sama Nano,” gumam Tian membuat Wendi terperanjat.

“Kapan? Pas kalian udah nikah?”

Tian menggeleng. Tangannya menggoyangkan kaleng soda yang sudah tidak begitu dingin. Siang itu memang cukup panas, walau awan gelap menggantung di langit.

“Pas masih SMA.”

Tian mendengar Wendi berdecak. “Yaelah, Yan! Itu kan udah lama banget! Lo nikah juga udah hampir setahun. Udah ngelewatin banyak momen berdua. Nggak mungkin selama ini kalian cuma main monopoli pas di kamar, kan?” Tian terkekeh mendengar pertanyaan bernada kesal itu. “Yang udah lalu mah biarin aja, Yan. Yang penting kan sekarang. Kalau kata bini gue nih, ya, selama kita masih sama-sama sadar diri sama status kita, bertanggung jawab, percaya sama pasangan, itu udah jadi modal yang besar buat hubungan perkawinan jadi awet. Gue mau cerita, nih, agak bikin malu sih sebenarnya.”

Tian memperhatikan Wendi yang tampak kikuk, lelaki itu bahkan tertawa canggung sembari menggaruk leher belakangnya.

“Lo tahu, dulu gue ngerasa kalau Lalis berubah pas dia hamil anak pertama kami. Mood dia tuh kacau balau. Sensitif bangetlah pokoknya. Gue salah ngomong dikit, dia marah. Apalagi dia ngerasa kalau badan dia tuh jadi melar banget karena banyak makan. Padahal bagi gue ya biasa aja, namanya juga orang hamil. Yang penting kan dia sehat. Tapi bagi Lalis tuh enggak, Yan. Sekali dua kali dia nolak pas gue ajak berhubungan, gue masih okelah. Gue berusaha memahami, karena emang disuruh dokter kan jangan keseringan, ya. Tapi itu udah di awal trimester tiga, njir! Lo tahu sendiri, laki kalau lama nggak gituan pasti pening, kan? Apalagi lihat bini kelihatan semok banget tiap hari. Makin menjadi-jadilah!”

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang