Yang Ditunggu

2.9K 431 47
                                    

Pagiii~

Seperti janjiku kemarin, ya. Hari ini update lagi. Pagian aja, biar semangat melewati hari bacain komentar-komentar kalian 🤗

Padahal di bab sebelumnya tuh, aku kepinginnya kalian ngehujat Hani 🤣 malah pada ngucapin selamat. Padahal Hani lagi pundung 🤣






























Pada awalnya, Tian berniat untuk berlama-lama di masjid. Ia akan lanjut salat Isya tanpa pulang lebih dulu, padahal tidak ada jadwal pengajian malam itu. Ia masih agak kesal mendapati Hani duduk di boncengan Bayu tadi sore.

Istrinya itu tahu kalau Tian tidak suka jika Hani dekat-dekat dengan laki-laki mana pun, terlebih pada Bayu yang notabenenya begitu kentara menyukai perempuan itu.

Entah apa yang di pikirkan Hani sampai mau dibonceng oleh Bayu seperti tadi.

Tetapi, perasaan Tian tidak karuan saat ini. Ia merasa gelisah dan cepat-cepat ingin pulang. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada Hani, terlebih lagi, ia tidak berpamitan dengan benar saat akan ke masjid tadi.

Dengan terburu-buru, lelaki itu setengah berlari agar bisa segera sampai ke rumah. Sandalnya sampai terlepas dan ia menjadi jengkel karena tidak kunjung bisa memasukkan jempolnya dengan benar.

“Ya Allah! Ada-ada aja, orang lagi gugup begini juga!”

Ia sedikit menarik sarungnya ke atas, lantas berlari seperti dikejar anjing.

“Hani?” panggilnya setelah membuka pintu rumah. Tetapi tidak ada jawaban sama sekali.

“Hanifah!” panggilnya lagi sembari berlalu ke dapur.

Tidak ada istrinya di sana. Meja dapur bahkan masih bersih, belum ada satu makanan pun yang disiapkan untuk makan malam mereka. Tian jadi semakin ketar-ketir.

Dengan tergesa, ia menaiki satu per satu anak tangga, lantas mendengar suara tangis yang teredam dan rasanya sangat memilukan.

Tanpa buang waktu, Tian segera membuka pintu kamar mereka. Mendapati Hani bersujud di samping Al Quran yang diletakkan di atas meja lipat kecil.

“Hani?” panggilnya dengan suara bergetar.

Tian begitu takut terjadi sesuatu pada istrinya itu. Ia langsung mendekap tubuh yang sedang bersimpuh itu.

“Sayang? Kenapa? Ada apa?” tanyanya tidak sabar. “Kamu sakit?”

Tian memaksa agar Hani menatapnya. Hatinya seakan diiris menyakitkan, melihat Hani berurai air mata dengan wajah yang sudah memerah.

“Sayang, kenapa? Ada apa?” ulangnya dengan khawatir.

Hani masih menangis tergugu. Mencengkeram baju di bagian dadanya dengan begitu erat.

“Sayang?” Tian mengusap-usap punggung Hani, memeluknya lebih erat sambil berulang kali melabuhkan kecupan di puncak kepala Hani yang tertutup mukena.

Ia membiarkan Hani menuntaskan tangisnya, meski rasanya begitu menyedihkan mendengar istrinya menangis sampai tergugu seperti itu.

“Kenapa? Hm?” tanyanya lagi, setelah Hani lebih tenang dari sebelumnya. “Kamu ada masalah apa sih, Sayang? Cerita sama aku, biar nggak uring-uringan terus gini,” ujar Tian lembut.

Hani hanya menggeleng, malah semakin mengeratkan pelukan dengan melingkarkan kedua tangannya di leher Tian. Ia bahkan saat ini sudah duduk di pangkuan suaminya dengan seenaknya sendiri. Membuat Tian hanya bisa menghela napas, namun tidak juga menyuruh Hani turun dari sana.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang