Bersatu

2.6K 443 13
                                    

Hani rasanya ingin menangis saja, tetapi Cindy, penata riasnya itu selalu menegurnya tiap kali matanya mulai memanas, membuatnya mati-matian menahan air mata yang bisa meluncur kapan saja.

Di hadapannya ada Nano, yang kini tersenyum sendu sembari memegang kedua tangannya. Lelaki itu tidak banyak berubah. Selain kulitnya sedikit lebih gelap, Nano juga mencukur rambutnya sampai hampir botak, kumisnya dibiarkan memanjang, tetapi terlihat rapi.

“Udah, nggak usah nangis. Udah gede, masak mau nangis terus? Dimarahi mbaknya loh nanti,” tegurnya pada Hani yang kemudian merengek kepadanya. Hal yang begitu ia rindukan dalam beberapa waktu terakhir.

“Lo dari mana aja, No? Jahat banget ninggalin gue. Nggak mau ngomong sama gue,” rengek Hani yang akhirnya tidak dapat menahan air matanya turun.

Si penata rias cepat-cepat menyodorkannya tisu. Akad nikah memang masih sekitar tiga puluh menit lagi. Penghulu belum datang, namun kedua mempelai telah siap di ruangannya masing-masing. Hani dan Tian baru akan bertemu setelah keduanya sah menjadi suami istri.

“Gue sibuk banget, Hani. Lo tahu, kan, gue ada di Surabaya belakangan ini.”

“Ngapain, No? Lo kan kerja di sini. Ngapain ke Surabaya?”

Nano tertawa kecil. Ia meraih sehelai tisu, mengelap air mata Hani dengan hati-hati.

“Disuruh ngajarin anak salah satu crazy rich Surabaya gue, Han. Lumayan kan, duitnya bisa buat beliin lo kado,” guraunya yang membuat Hani makin kesal. “Udah, nggak usah nangis. Ntar pas keluar malah dikira lo dipaksa kawin sama Tian. Nggak malu lo?”

“No, lo nggak boleh pergi jauh-jauh lagi, No!”

Nano kembali tertawa. Kini ia berdiri, mengusap lembut pipi Hani yang dilapisi riasan tebal. Membuat gadis itu terlihat begitu cantik, meski kalau tidak mengenakan riasan pun, Hani tetap terlihat cantik. Hani mengenakan kebaya berwarna putih, rambutnya disanggul bulat khas pengantin, dengan untaian melati yang menguarkan bau wangi.

Sahabatnya sejak kecil, kini menjelma bagai putri Jawa. Sangat cantik, meski pipinya basah oleh air mata, dan itu karena dirinya.

“Iya. Gue mau ke luar dulu, ya? Udah datang penghulunya, nih,” ujarnya seraya menunjukkan ponselnya. Ada pesan dari Giani yang mengabarkan bahwa penghulu sudah datang.

Penata rias pun kembali memperbaiki riasan Hani yang tadi sempat terkena air mata. Hani melambaikan tangan, bibirnya melengkung ke bawah saat Nano melambaikan tangan padanya, kemudian berlalu pergi.

§§§

Akad nikah berjalan dengan lancar. Tian hanya perlu satu kali latihan untuk memantapkan diri bahwa ia akan bisa mengucap kalimat ijab kabul satu kali tanpa pengulangan lagi. Semuanya begitu mudah. Mungkin karena Tian sudah hafal di luar kepala, nama calon istri dan calon mertuanya itu.

Hani bersyukur luar biasa, ketika ia dihela untuk masuk ke dalam area prosesi ijab kabul, ia melihat Nano duduk di belakang kursi pengantin. Memang ada jarak di antara kursi-kursi untuk ijab kabul dan rombongan keluarga, tetapi mendapati lelaki itu hadir dan duduk di sana, Hani merasa sangat senang. Ia menjadi bingung, tangis yang keluar setelahnya itu karena ia sudah sah menjadi seorang istri, atau karena melihat Nano ada di sana dan turut serta bahagia untuknya.

Lalu kini, ia sudah berdampingan dengan Tian di kursi pelaminan. Kakinya sudah terasa pegal, karena harus berulang kali duduk dan berdiri ketika tamu mulai berdatangan, minta foto bersama dengan berbagai gaya, bahkan untuk membasahi tenggorokan saja harus menunggu sampai tidak ada orang yang bersalaman dengan mereka.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang