Sesal Yang Terlambat

2.4K 407 29
                                    

Buat nemenin istirahat makan siang, ya 🤗

Bab selanjutnya kalau nggak besok pagi, ya malamnya, ya 🤗
























Menuju ending. Deg-degan 🤭

Semoga sesuai dengan ekspektasi kalian ♥️
































“Hani pulang dulu ya, Ma?”

Widuri tersenyum dan menyambut pelukan Hani dengan suka cita. Ia mengusap-usap punggung menantunya dengan lembut. “Kalau ada apa-apa itu diomongin dulu, ya? Jangan apa-apa dibawa mikir keras, Han, capek sendiri kamu nanti,” ujar Widuri penuh kelembutan.

Hani hanya dapat meringis malu. Ia mengakui kalau dirinya terlalu banyak berpikir negatif, tanpa mau menanyakannya langsung kepada Tian selama ini. Hal inilah yang membuat ia rela mendatangi sang ibu mertua hanya untuk mendapat nasihat sebagai orang yang sudah lama hidup berumah tangga, sekaligus ibu dari suaminya sendiri, yang pasti tahu bagaimana cara untuk meluluhkan hati Tian yang rasanya belum bisa ia gapai.

“Kalian itu cuma kurang komunikasi. Tiannya cuek begitu, kamunya overthinking begini,” kata Widuri lagi, membuat Hani menunduk malu.

“Maafin Hani, Ma.”

Widuri tertawa mendengarnya. Ia masih merangkul bahu menantunya, mengantarnya ke depan rumah sakit, tempat taksi biasa berkumpul.

“Cemburu itu ya wajar. Wajib malah, Han. Tapi ya harus dikondisikan juga. Jangan apa-apa dicemburui, belum tentu apa yang kamu lihat atau dengar itu betulan,” ujar Widuri lagi. “Mama bukannya mau bela Tian. Biar gimanapun, dia juga salah. Tapi kan di sini kita belum tahu, kejadian yang sebenarnya itu gimana. Belum tentu Tian beneran lagi mesra-mesraan sama mantannya itu. Kalau ternyata mantan Tian lagi jadi klien Tian, gimana?”

Hani meringis malu lagi. Hal itu tidak terpikir olehnya sebelum ini. Otak bodohnya sedang mengambil alih, pikir Hani.

“Udah, kamu pulang sekarang. Nggak boleh stres loh, ya.”

Hani mengangguk, kembali memeluk Widuri saat sebuah taksi online yang ia pesan muncul di depan mereka. “Mama jangan bilang siapa-siapa dulu kalau Hani ke sini ya, Ma? Biar nanti Hani yang bilang sendiri ke Tian.”

Widuri tertawa kecil, mencubit gemas pipi menantunya, lalu berkata, “Iya. Mama senang banget loh hari ini. Mama harap, kalian nggak berantem lagi habis ini. Rukun-rukun jadi pasangan, tuh,” ujarnya.

“Doain kami terus ya, Ma?”

Widuri memegang kedua bahu Hani. “Tentu! Masak nggak didoain?” Hani tertawa ringan, lalu masuk ke dalam mobil. “Harus banyak makan ya kamu. Kurus banget loh ini. Kalau nggak kuat minum susu, ya nggak apa-apa. Banyakin makan buah sama sayur. Nanti Mama suruh Mbak Ana kirim masakan buat kalian tiap hari.”

“Nggak usah, Ma. Hani juga masih bisa masak, kok.”

“Ya udah, jangan dipaksa tapi, ya? Kalau kepingin apa-apa, bilang aja sama Mama. Jangan sungkan.”

Hani mengangguk. Mereka kemudian berpisah setelah Widuri memberi beberapa wejangan yang sama seperti sebelumnya.

Dalam perjalanan pulang itu, Hani tidak henti-hentinya tersenyum dan merutuki dirinya sendiri yang begitu bodoh. Harusnya ia bertanya lebih dulu kepada Tian, tidak secara impulsif menuduh lelaki itu tidak mencintainya dan berniat berkhianat, meski tuduhannya hanya dalam hati saja.

Ia akan menyiapkan makan malam yang istimewa untuk melengkapi kejutan, juga agar tidak begitu canggung saat meminta maaf nanti.

Tinggal melewati dua blok saja, maka ia akan sampai di kompleks rumahnya, tetapi mobil yang membawanya seperti mengalami kendala.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang