Yang Tak Terucapkan

1.8K 374 28
                                    

Apakah cinta itu penting?

Bagi Hani, iya. Cinta itu penting. Tetapi, tidak melulu harus diungkapkan dengan kata-kata. Ia mencintai Tian sebagaimana perempuan mencintai laki-laki. Terlebih lagi, mereka suami istri. Tian adalah suaminya. Lelaki satu-satunya yang ia biarkan mendapatkan segala apa yang ia punya, termasuk hatinya.

Hani bahkan secara sadar mengakui pada dirinya sendiri, alasan ia menerima pinangan Tian adalah karena ia sudah tidak lagi menganggap Tian sebagai sahabat semata. Alasan mengapa ia bimbang pada awalnya, karena terlalu takut, kalau saja hanya ia yang memiliki perasaan itu untuk Tian nantinya, dan tidak mendapat rasa yang sama untuknya sendiri.

Hani sudah tidak lagi menemukan cara, bagaimana ia harus bersikap biasa saja ketika mereka bertemu. Membahas soal kekasih, di saat matanya sesekali mengawasi Tian dengan perasaan yang tidak menentu.

Ketika akhirnya ia menyetujui permintaan lelaki itu untuk menikah, Hani sudah mewanti-wanti pada dirinya sendiri, agar tidak terlalu berharap pada lelaki itu. Tian menikahinya karena permintaan neneknya. Perempuan tua yang juga sudah Hani anggap sebagai neneknya sendiri. Hani tahu, betapa sayangnya Tian kepada Winarti, dan bagaimana dimanjakannya Tian oleh perempuan tua itu. Oleh karena itu, ketika mereka akhirnya benar-benar menjadi suami istri secara harfiah, maksudnya adalah, melakukan hak dan kewajiban yang benar-benar dilakukan oleh sepasang suami istri, Hani hanya mampu berdoa, agar Tian segera menganggapnya sebagai perempuan yang dicintainya. Bukan semata-mata perempuan yang bisa didapatnya dengan mudah untuk menjadi seorang istri.

Hani tidak tahu bagaimana perasaan lelaki itu ketika menikahinya. Mereka terlampau lama menjalin persahabatan, sampai Hani tidak tahu lagi cara untuk membaca gerak-gerik lelaki itu dengan baik.

Tian pernah ditinggalkan Renira ketika mereka masih berpacaran. Ketika Hani atau pun Nano menanyakan perihal perasaan lelaki itu, Tian hanya tersenyum tipis, enggan membahasnya lebih jauh.

Hani tidak pernah menanyakan hal itu sebelumnya. Apakah perasaan Tian masih sama, atau sudah siap untuk menerima cinta yang baru, yang tentu saja datang darinya. Hani tidak melupakan itu, hanya saja, ia ingin percaya bahwa semuanya akan mereka lalui dengan mudah, maka cinta itu pun akan hadir dengan sendirinya.

Naif sekali memang.

Ketika banyak orang tua berkata; hidup dalam hubungan perkawinan itu tidak melulu soal cinta, tanggung jawab dan rasa saling percaya itu adalah modal yang utama, maka perkawinan itu akan bertahan untuk waktu yang lama, atau bahkan selamanya.

Tetapi, Hani tidak hidup di zaman semuanya menjadi biasa ketika dipaksakan. Ia hidup di zaman, di mana orang-orang egois ingin yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ia pun begitu. Ingin egois, memiliki semua hanya untuk dirinya sendiri. Termasuk memiliki Tian, dan hatinya yang masih abu-abu untuk Hani lihat dengan matanya yang nyaris buta, tak bisa membedakan mana yang nyata, dan mana yang semu.

Tian memang menyayanginya. Tetapi Hani tidak tahu, apakah sayang itu masih sama seperti dulu, saat mereka hanya bermodal kata sahabat untuk saling membenarkan perasaan itu berkembang dari yang seharusnya?

Hani menggigil dalam ketakutannya sendiri.

Ia mengabaikan ponselnya yang berdering sedari tadi. Ia sudah mengirimkan pesan pada ibunya, kalau ia harus pulang karena akan menyiapkan makan malam lebih awal. Hingga agak tidak mungkin kalau ibunya berulang kali menghubunginya seperti itu. Satu yang masuk ke dalam dugaan Hani; bahwa si penelepon ini tak lain adalah Tian. Suaminya sendiri.

Tidak.

Hani belum ingin mendengar suara lelaki itu. Ia hanya ingin sendirian sekarang. Meski selimut yang membungkus tubuhnya tak mungkin membuatnya lupa akan siapa orang yang tidur dengannya setiap malam.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang