Kapan Hamil?

2.3K 409 21
                                    

Rumah Nandito ramai sekali saat ini. Dikarenakan itu bukan dari pihak keluarga Widuri, jadi Winarti tidak ada di sana. Hani yang sudah selesai membantu Widuri untuk menyiapkan makanan, mulai mencari keberadaan suaminya, tetapi lebih dulu melihat Audy melambaikan tangan ke arahnya.

“Eh, lama nggak ketemu, Hani, apa kabar, Han?” Audy menyapa dengan ramah, memeluk dan saling tempel pipi kanan dan kiri.

“Alhamdulillah, baik, Dy. Ke sini sendirian?”

“Andika lagi ada kerjaan ke luar kota, gue di rumah orang tua udah berapa hari, terus ikut aja ke sini.”

Keduanya lantas mengobrol akrab, tidak canggung sama sekali. Mungkin karena satu frekuensi, membuat keduanya cepat nyambung ketika berinteraksi.

“Gue minta maaf soal masalah Keira,” kata Audy tiba-tiba. “Dia emang kayak gitu dari dulu, sih, tapi gue juga nggak bisa membenarkan sikap dia.”

Hani tahu, ini bukan salah Audy ataupun Tian. Dia sebenarnya sudah menganggap hal itu tidak pernah terjadi, toh sekarang hubungannya dan Tian sudah baik-baik saja. Malah lebih baik dari sebelumnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa seks memang salah satu jalan terbaik untuk membuat hubungan suami istri menjadi lebih baik. Hani mengakuinya, meski tidak dengan kata-kata, tetapi Tian memperlakukannya pun semakin baik. Selain intensitas kegiatan mereka yang kini sedang ada di puncak, Tian juga selalu berkata-kata baik. Dalam artian, tidak sering membuat Hani kesal. Terkecuali semalam, bahkan hingga saat ini, Hani masih memasang mode mengambek pada lelakinya itu.

“Oh, masalah itu? Udah nggak usah dipikir lagi sih, Dy,” sahut Hani tidak enak.

Dia tidak mau Audy berpikir macam-macam tentang hubungannya dan Tian.

“Tetep aja gue nggak enak sama elo berdua. Gue juga udah tegur Keira, kok, dan dia juga minta maaf sama lo,” jelas Audy yang sebenarnya tidak begitu dipercaya oleh Hani. Dari tampang Keira saja, Hani bisa melihat kalau perempuan itu punya ego yang tinggi.

“Ya udah, nggak apa-apa, kok,” kata Hani lagi.

Tiba-tiba saja, kepala Hani diusap dari belakang, dan Tian muncul menyertainya. Lelaki itu memaksa duduk menyempil di antara Hani dan sudut sofa yang sebenarnya masih agak longgar, karena masih ada ruang di antara Hani dan Audy.

“Lagi ngobrolin apa?” bisik Tian membuat Hani berjingkat.

“Ih, apaan, sih?” Hani mengedik, berusaha menjauhkan bahunya dari wajah Tian yang dengan sengaja menyusuk di sana. “Geli, ah! Banyak orang juga!”

“Lo ngapain, sih, Yan?” Audy bertanya dengan geli. Tidak menyangka kalau sepupunya yang terkenal cuek dan sedikit dingin itu bisa bertingkah seperti itu.

Tian tidak memedulikan pertanyaan Audy, ia malah mengambil kudapan di atas meja, membuka plastiknya, kemudian menyodorkan pada Hani sepertinya mulai tidak nyaman dengan posisi duduknya. Kaki kiri Tian yang menekuk di atas sofa terasa mengganjal bokongnya.

“Ih, enggak, ah. Tadi aku udah sempat ngemil di belakang bareng Mama,” tolak Hani tidak mau.

“Segigit aja, sisanya aku yang makan,” paksa Tian membuat Hani merotasikan bola matanya, tetapi tidak menolak lagi, menggigit sedikit, kemudian kue dalam genggaman Tian itu dihabiskan sendiri oleh lelaki itu.

Beberapa keponakan mulai berlarian di tengah orang-orang yang duduk di atas karpet, membuat beberapa orang tua mulai berisik dan menegur mereka. Tetapi anak-anak itu tetap tidak menghiraukan.

Saat seorang gadis kecil yang entah anak siapa, Hani tidak paham, tersandung karpet di dekat kaki Tian, mendadak suasana berubah menjadi lebih riuh. Beberapa ibu-ibu mulai mengomel, anak perempuan itu menangis keras, hingga beberapa anak lain yang mulai ditenangkan orang tuanya masing-masing meronta tidak mau ditahan. Seorang batita laki-laki yang baru lancar berjalan memegang taplak meja, menariknya hingga dua gelas panjang yang ada di atasnya berguling dan pecah di lantai.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang