Rumah Baru

2.6K 488 14
                                    

Halo!

















Kangen, nggak?


















Kasih like-nya jangan lupa, ya 💕

























“Yah, gue pikir, lo masak sendiri. Malah beli,” keluh Nano saat melihat beberapa masakan yang ada di hadapannya. Lelaki itu tahu kalau Hani belum pandai jika menyangkut urusan dapur. Nano hanya ingin menggoda, hal yang biasa ia lakukan sebelumnya.

“Gue nggak sempat masak, No. Ngeberesin rumah juga udah capek banget,” ujar Hani sambil mengisi piring suaminya dengan nasi dan beberapa lauk pauk. Tatapan matanya berpindah kepada Tian, lalu bertanya, “Ikan apa ayam?”

“Ayam aja.”

Nano memperhatikan keduanya, ia sempat tertegun sejenak, sebelum sadar kalau hal itu pastilah lumrah.

“Lo mau makan pakai apa, No?” tawar Hani kepadanya.

“Eh, nggak usah. Gue ambil sendiri aja,” tolak Nano sungkan. Sedekat apa pun ia dan Hani di masa lalu, tidak seharusnya ia mengabaikan Tian yang ada di antara mereka.

“Udah, gue ambilin sekalian,” tutur Hani tidak mau mengalah.

Makan malam itu didominasi oleh Hani yang berusaha menginterogasi Nano. Apa yang lelaki itu lakukan di Surabaya, pekerjaannya, kemungkinan Nano menyembunyikan kekasihnya, bahkan menuduh Nano sudah punya teman tidur di sana.

“Lo aneh banget soalnya,” ujar Hani saat melihat Nano tertawa mendengar tuduhannya.

“Gila banget bini lo, Yan! Gue punya teman tidur katanya,” ujar Nano kemudian tertawa lebar.

Tian masih fokus pada makanannya, membiarkan istrinya bergurau dengan Nano. Ia tidak bisa tiba-tiba melarang Hani untuk menjauhi Nano, hanya karena ia merasa tidak nyaman dengan itu. Pasti akan terdengar sangat aneh untuk perempuan itu. Selama ia ada di samping Hani, rasanya tidak masalah. Lagi pula, perutnya benar-benar lapar. Seharian ini mereka belum sempat beristirahat dengan benar. Karena selain mengepak baju milik Hani, mereka juga harus ke rumah Nandito untuk mengepak baju-baju miliknya.

Pekerjaan tidak hanya selesai sampai di sana. Rumah yang meski sesekali mereka datangi untuk dibersihkan, kalau tidak tiap hari dibersihkan tentu saja tetap terasa kotor. Saat Hani menata pakaian dan kamar mereka di atas, Tian memilih menyapu dan mengepel lantai yang terasa kasar di telapak kaki. Dia tidak mungkin membiarkan Hani melakukan itu sendiri. Istrinya bukan babu, Tian juga tidak akan memaksa Hani melakukan itu kalau memang tidak mau.

“Lo jadi pendiam banget, Yan?” suara Nano membuatnya mendongak, sedangkan Hani tergelak.

“Tian udah lapar banget, No. Dari pagi kami sibuk pindahan, berhenti paling cuma buat makan sama salat,” sahut Hani yang kembali mengisi piring Tian dengan nasi dan ayam goreng.

“Kirain nggak suka gue ada di sini.”

“Nggak lah, kenapa juga gue harus nggak suka?” Tian balik bertanya. “Lo belum maafin kita berdua karena tiba-tiba nikah gitu aja?”

Nano menghela napas panjang, ia meminum beberapa teguk air agar makanannya turun. “Gue udah maafin kalian berdua, kok. Dan gue enggak marah, Yan. Buat apa juga gue marah? Jujur, gue kecewa, sih, karena kalian nggak ngajak gue ngomongin masalah itu dari awal, dan tahunya malah dari orang lain,” tutur Nano membuat Hani dan Tian terdiam.

Mereka berdua tahu, kalau seharusnya melibatkan Nano waktu itu. Tetapi pikiran mereka sudah penuh dengan hal-hal lain.

“Tapi lo tetap nggak mau ketemu sama gue!” cecar Hani kembali kesal.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang