Cemburunya Hani

2.8K 429 8
                                    

“Aku ke toilet dulu deh, ya?” pamit Hani pada Tian, saat mereka mencapai gedung tempat resepsi Audy dan suaminya di selenggarakan.

Hani sudah menahan rasa buang air kecil sejak sebelum mereka terjebak macet di perjalanan mereka tadi. Bintik-bintik keringat juga hampir membuat riasan di wajahnya terhapus.

Melihat istrinya sepertinya sudah sangat tersiksa, Tian menggiring Hani ke toilet terdekat yang dapat mereka temukan. Sembari menunggu Hani di toilet, Tian memeriksa ponselnya. Urusan pekerjaan datang tidak tahu waktu. Namun, Tian tidak mempermasalahkannya. Selagi ia masih bisa mengurusnya dan tidak mengganggu waktu intensifnya bersama keluarga, Tian akan meladeninya.

Tian sudah beberapa kali mengambil pekerjaan untuk dibawa pulang. Sekadar memotret beberapa produk yang menginginkan jasanya untuk kemudian nanti dijadikan ajang promosi di media sosial. Entah itu foto ataupun video, Tian terkadang melakukannya sendiri, kadang melakukannya bersama teman-teman timnya. Tergantung bagaimana kesusahan pekerjaan itu untuk dikerjakan.

Sisi positif dari pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah itu, Tian jadi sering punya banyak waktu bersama Hani. Ia tidak tega membiarkan Hani di rumah sendirian, walau kejadian itu belum pernah mereka alami sebelumnya. Tian memastikan ia akan berada di rumah ketika waktunya Hani pulang. Bisa saja ia membiarkan Hani berada di rumah sendirian, atau pulang lebih dulu ke rumah orang tua mereka, tetapi tenaga mereka pasti akan semakin terkuras kalau harus pergi ke sana kemari setiap hari.

Sebisa mungkin, Tian meluangkan waktu agar mereka bisa berkumpul dengan keluarga mereka. Entah itu sekadar mengunjungi rumah orang tuanya dan orang tua Hani untuk beberapa jam di hari libur mereka, atau mengunjungi rumah Winarti yang tentu akan berujung menginap, karena neneknya itu terlampau senang dikunjungi oleh cucu-cucunya.

Tian masih terkekeh singkat saat panggilan telepon bersama salah seorang temannya diputus. Ada rencana untuk mengunjungi beberapa tempat untuk mencari foto-foto menarik yang bisa mereka dapatkan, tetapi Tian belum mengiakan, dan temannya menggodanya dengan beberapa kalimat menggelitik yang membuatnya ikut tertawa. Katanya, khas pengantin baru yang tidak ingin berlama-lama meninggalkan pasangannya sendirian di rumah.

“Mas Tian?”

Panggilan itu membuatnya menoleh. Tian mendapati seorang gadis bergaun merah muda dengan potongan pendek mendekat padanya. Keningnya mengerut, berusaha menggali ingatan tentang siapa gadis yang menyapanya itu.

“Ya?”

Payah sekali. Tian tidak mengingatnya. Mungkin karena terlalu banyaknya perempuan yang bertemu dengannya untuk urusan pekerjaan di masa lalu, sehingga otaknya kesulitan mengingat siapa sosok di depannya itu.

“Sendirian aja, Mas?” sapa gadis itu ramah, lengkap dengan senyuman yang memunculkan dua lesung pipit mungil di sudut bibir.

“Oh, enggak. Bareng keluarga,” sahut Tian berusaha ramah, meski ia masih belum mengingat siapa yang berbicara dengannya sekarang.

“Aku pikir, Mas Tian yang hari ini jadi juru kamera di nikahan sepupu sendiri. Ternyata malah datang jadi tamu, ya?”

Tian hanya tersenyum tipis. Lalu matanya menangkap sosok sang istri yang berjalan dari arah toilet. Wajahnya tampak begitu datar, atau mungkin ... kesal?

“Udah selesai?” tanya Tian sembari mengulurkan tangannya, tetapi Hani tidak menyambutnya.

“Yuk, pasti udah ditungguin Mama di dalam,” ujar Hani mengabaikan uluran tangannya.

Tian mengernyit sejenak, lalu mengangguk. Ia berpamitan pada gadis yang tampak kebingungan menatapnya bergantian dengan Hani, kemudian menyusul Hani yang sudah berjalan lebih dulu. Menggenggam tangannya dan mencuri pandang pada wajah yang tampak kesal itu.

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang