Langkah Besar

1.8K 392 22
                                    

Ada yang masih bangun?



























Tidak banyak perubahan yang terjadi di antara mereka berdua. Baik Tian mau pun Hani masih membiarkan adanya ruang bisu di antara mereka.

Yang satunya terlalu berpikir negatif tanpa mau bertanya kebenarannya, sementara yang satu kurang memiliki rasa percaya diri terhadap dirinya sendiri. Belum ada yang mau bergerak. Masih menyalahkan diri masing-masing tanpa ada kejelasan berarti.

Tian memilih tidak lagi ambil pusing. Baginya, Hani kini hanya miliknya, tidak ada Nano atau pun laki-laki lain yang boleh menyentuh selain dirinya. Menyentuh dalam artian memiliki Hani dalam bentuk apa pun. Baik tubuh, atau pun hatinya.

Dengan perasaan lega, ia menghampiri Widuri di ruangannya. Ibunya tengah beristirahat, dan Tian sudah memesan makan siang untuk mereka berdua.

“Gimana hasilnya?”

Tian malah bergerak memeluk sang ibu, tetapi wajahnya yang menyiratkan rasa bahagia, sudah mampu dibaca oleh Widuri.

“Alhamdulillah. Mama bilang juga apa, kan?”

Sepasang ibu dan anak itu larut dalam rasa haru dan bahagia. Tian mencium tangan Widuri dan mengecup keningnya, lantas kembali memeluk untuk menyalurkan segala macam perasaan yang bergelayut di dadanya.

“Tian cuma takut kalau Tian yang ternyata nggak sehat, Ma,” ujar lelaki itu kemudian.

“Anak Mama sehat, kok. Kamu tuh jangan apa-apa mikir negatifnya dulu gitu, loh.”

Belum lama ini, Tian memang melakukan tes kesuburan laki-laki di rumah sakit tempat Widuri bekerja. Hanya ia dan ibunya yang tahu. Segala macam arahan dokter ia jalankan dengan baik, termasuk untuk tidak berhubungan badan minimal tiga hari sebelum cairan spermanya diambil untuk diteliti di laboratorium. Itu hal yang mudah, karena hubungannya dengan Hani yang merenggang itu membuat sang istri tampak ogah-ogahan ketika ia ajak bercinta, membuat Tian akhirnya memilih untuk menahannya saja.

“Aku cuma takut aja, Ma. Kalau ternyata Hani udah kepingin banget punya anak, tapi aku nggak bisa hamilin dia, gimana, Ma?”

Widuri tersenyum lembut. Ia mengusap sisi kepala Tian yang kini sudah tidak selembut saat lelaki itu kecil dulu. “Kalau ternyata ... Hani yang susah untuk punya anak, gimana?” tanyanya berhati-hati, takut menyakiti sang anak yang sedang rapuh itu.

Tian tertegun sejenak. Bukan ia tidak kecewa kalau selama hidupnya tidak akan ada sosok yang memanggilnya papa, tetapi rasa takut jauh dari Hani lebih mendominasi. Anak mungkin bisa ia dapatkan dari perempuan lain, tetapi kalau itu bukan didapatnya dari Hani, akankah hidupnya terasa lebih bahagia dan berarti daripada yang selama ini ia rasakan?

Tidak pernah sama sekali dalam pikiran Tian akan menggantikan Hani dengan siapa pun. Mungkin saat ini, salah satu ujian perkawinan sedang mereka rasakan secara berurutan. Anak yang belum kunjung hadir, diamnya sang istri yang belum ia tahu alasannya, juga dugaan bahwa Hani memanglah masih memiliki perasaan untuk Nano.

Tian ingin memaknai semua itu sebagai ujian perkawinan.

“Masih ada cara lain kan, Ma? Bayi tabung misalnya?”

Widuri tersenyum, kemudian mengangguk. “Tentu. Kamu bisa diskusiin masalah ini sama Hani. Ngomongnya baik-baik ya, Sayang. Perempuan itu sensitif kalau masalah kayak begini.”

Tian mengerti hal itu.

“Emangnya, kamu udah kepingin punya anak?” Widuri bertanya penasaran.

“Ya siapa yang nggak mau sih, Ma? Tapi kalau belum waktunya ya nggak apa-apa, berarti aku sama Hani masih disuruh buat berdua dulu. Kayak kata Mama, kan?”

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang