Extra Part

5.6K 406 17
                                    

Sudah menunggu lama, ya?

Maaf, ya. Aku sekalian ngetik 2 extra part spesial sudut pandang Hani & Tian soalnya, hehe. Tetapi kalian bisa baca 2 bab itu di karyakarsa, ya 🤗🥰



































“Udah nggak ada yang ketinggalan?”

Hani menggeleng. “Enggak. Udah aku masukin di tas semuanya tadi. Yuk, kita jalan!”

Tian hanya mendengkus kecil. Dia tidak bisa benar-benar kesal pada Hani, hanya sedikit tidak sabar saja, karena mereka mungkin akan sedikit terlambat datang di resepsi pernikahan Nano malam ini. Hani dan segala kerepotannya itu tidak bisa dipisahkan semenjak hamil, dan Tian berusaha memakluminya.

Apa yang direncanakan pada awalnya, menjadi tidak bisa sesuai di akhir. Begitulah kira-kira yang terjadi pada resepsi pernikahan Nano hari ini.

Tian yang sebelumnya didaulat menjadi salah satu pengiring Nano, kini malah datang bersama Hani. Ia tidak bisa meninggalkan Hani begitu saja, meski akan ada orangtua mereka yang juga datang ke sana. Tian hanya ingin memastikan bahwa Hani akan datang dan pulang dengan selamat, serta tidak terlupa suatu apa pun sebelum pergi. Karena ... perempuan berperut buncit itu menjadi agak pelupa sekarang.

“Nanti di sana makanannya apa aja, ya?” tanya Hani mulai membayangkan akan memilih banyak makanan di pesta itu, dibanding membayangkan seperti apa sahabatnya sendiri.

“Mentang-mentang udah bisa makan banyak ya sekarang?” goda Tian membuat Hani memukul lengannya ringan. Tian tersenyum, lalu mengusap rambut Hani dengan hati-hati. “Kalau ada sate kambing, nggak usah makan, ya?”

Hani menoleh penasaran. “Kenapa?”

“Sate kambing kan kadang nggak dibakar sempurna. Yang dibakar-bakar kayak gitu juga kamu nggak boleh makan, nggak baik,” jelas Tian.

“Iya, deh. Terserah kamu aja, nanti kamu yang ambil makanannya, ya?”

Tian mengangguk. Ia memfokuskan diri untuk menyetir dengan benar, karena jalanan terlihat padat dan rintik-rintik hujan mulai turun. Sedangkan Hani mencari saluran radio yang cocok untuk menemani perjalanan mereka agar tidak membosankan. Terdengar senandung kecil yang Hani gumamkan, itu membuat Tian merasa lebih santai berkendara.

Nano yang sudah menikah di Surabaya itu memang akhirnya mengadakan resepsi di Jakarta, meski mundur lebih dari satu bulan lamanya dari rencana awal, karena nenek Sintia lebih dulu berpulang tidak lama setelah sang cucu menikah. Meski begitu, acara hari ini sepertinya akan ramai dan lancar, karena Tian tahu ada banyak undangan yang disebar.

Sebuah hotel ternama menjadi tempat untuk menjamu tamu malam ini. Ruangan luas itu dihias dengan begitu cantik, khas adat Jawa yang diinginkan Sintia sejak jauh hari. Berbagai ornamen yang identik dengan adat Jawa dapat dijumpai dengan mudah di sini. Bahkan tempat berfoto para tamu undangan di luar ruangan pun terlihat sangat cantik.

Mereka berdua berfoto lebih dulu di sana, karena antrean masuk ke dalam lumayan ramai.

“Aku nggak kelihatan gendut banget kan, Sayang?” tanya Hani saat Tian kembali menerima ponselnya dari seorang anggota event organizer yang sedang bertugas.

“Enggak,” sahut Tian singkat.

Hani bisa cemberut sepanjang hari kalau dikatai gendut, oleh siapa pun itu. Apalagi kalau Tian yang mengiakan. Maka dari itu, Tian menghindari kejadian yang sudah berlalu itu.

“Tapi sekarang kalau aku ngaca ya, Yang, kayak gemes gitu,” ujar Hani tiba-tiba, “pipiku gembil, terus perut aku udah kelihatan buncitnya gini. Sayang aja ini bajunya longgar banget, jadinya nggak begitu kelihatan baby bump-nya aku.”

Garis BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang