(S2) Satu: Betrayal

526 66 5
                                    

-Welcome to Second Season-

"Just because you love summer doesn't mean it can stay. But who knows what october will bring?" S.R.W

***

Winter's POV

Dua bulan berlalu, dan begitu banyak hal yang telah terjadi setelah hari itu. Beberapa minggu lalu, Thomas sudah pulih, namun tidak dengan Newt. Meski sudah siuman, tubuhnya masih sangat lemah. Frypan bekerja sebagai kepala koki di dapur. Thomas, Minho, Brenda, dan Gally sibuk di bagian pembangunan.

Sejak kencan dengan Gally, aku dilarang melakukan pekerjaan berat, padahal aku ingin sekali bekerja dengannya. Yah, alasannya karena dia tak ingin aku terluka, padahal mestinya dia tahu aku sudah sangat terbiasa melakukan hal-hal seperti itu selama di glade dan di Denver. Bahkan mungkin, lebih berat lagi.

Omong-omong, ada hal yang sangat mengganggu pikiranku belakangan ini. Tentang Gally. Itu.. Well, hubungan kami jadi renggang, belakangan. Aku tak tahu pastinya sejak kapan, tapi kami sudah benar-benar jarang bicara, bahkan sekedar bertemu. Lagi-lagi alasannya karena pekerjaan Gally yang padat. Aku harap aku bisa benar-benar percaya kepadanya.

"Sialan, memikirkan semua itu hanya membuatku pusing." Aku menghela napas.

Selagi menata obat-obatan, kudapati Newt mengerang dari ranjangnya, tampak lelah meski sedang tertidur. Dia terbatuk, tampak kesulitan bernapas. Ketika aku baru hendak menyentuhnya untuk memeriksa keadannya, dia meronta-ronta dan mendarat ke lantai kayu hingga ke posisi telentang.

Saat matanya membuka dan mendarat di wajahku, dia menyunggingkan ekspresi yang tak dapat aku mengerti. Apa kita sudah selamat sekarang?-- aku menduga, itu lah yang ada di dalam benaknya sekarang.

"Sudah bangun, rupanya. Mimpi buruk, heh?" Kataku sembari membantunya berdiri. "Tak ada waktu untuk wawancara. Duduklah, aku perlu mengganti perbanmu."

"Oke," Gumam Newt, masih lesu.

Sementara aku membuka perban lamanya dan menggantinya dengan yang baru, Newt menatapku, masih terengah-engah, membayangkan kembali semua hal yang telah kami alami, semua kematian, rasa sakit. Kini menatapku, orang yang telah menjadi teman sejatinya, dia berusaha menahan air matanya.

Setelah beberapa lama, aku mengikutinya. Kami bertukar pandang cukup lama, sampai seseorang akhirnya mengetuk pintu. Dari gerak kasarnya, kurasa itu Minho.

"Kau benar-benar mau nangis? Aku mau buka pintu." Aku melangkah mundur begitu selesai, dan Newt menggeleng.

"Siapa juga yang mau nangis? Aku tidak menangis."

"Bagus kalau begitu, anak bodoh." Jawabku.

"Sebelum itu, Winter," Newt memanggil, menghentikanku dari beranjak.

"Ya?" Aku menyahut ke balik pundakku, terlalu malas untuk berputar.

"Aku minta maaf atas semuanya, dan.."

"Terima kasih? Sama-sama. Aku sudah melupakan kejadian tak mengenakan di antara kita, jadi santailah sedikit, sobat."

Aku tak tahu apa yang salah dari kata-kataku hingga Newt terang-terangan menampakkan raut terlukanya padaku. Anak laki-laki itu mengerjap dan terkekeh lemah, namun seringai khasnya sudah lenyap. Kini yang tampak bagiku hanyalah tatapan hampa nan menyedihkan.

"Apa kau lupa kalau kau buru-buru?"

"Ah? Ya. Pintunya." Aku terkikik, beranjak menuju pintu.

Seperti perkiraan, itu adalah Minho. Matanya melebar saat melihat Newt sudah bangun dan tampak jauh lebih segar dibanding hari-hari sebelumnya. Tetapi nampaknya, niat kedatangannya kemari sekarang ini bukan karena ingin membesuk bocah kerempeng itu.

"Kita perlu bicara, Winter." Desaknya, menyambar tanganku. "Ada yang mesti kupastikan."

"Kenapa?"

"Ikut saja dulu, ya ampun!"

"Tapi Newt baru saja--"

"Kau bisa jaga dirimu sendiri untuk seterusnya, kan?" Minho bertanya pada Newt, suaranya terdengar seperti tengah terburu-buru.

Newt mengangguk.

"Bagus. Jangan mati, aku akan kembali setelah ini." Setelah bicara begitu, Minho langsung menggandeng tanganku, membawaku lari bersamanya ke arah hutan.

Aku tidak tahu sepenting apa hal yang bocah ini ingin bicarakan denganku, tapi rasanya dia sedang benar-benar serius. Aku menenggak ludah, ikut gugup karena Minho tidak kunjung menghentikan langkahnya, dan posisi kita saat ini sudah benar-benar berada di tengah hutan.

"Sedikit lagi." Bisik Minho, mendadak tidak punya nyali untuk bicara dengan cukup keras.

"Kau ini--"

Minho langsung menutup mulutku, menarik tubuhku dan mendekapnya erat. Begitu erat, menyesakkan hingga aku merasa nyaris pingsan. Kami bersembunyi ke salah satu pohon, hingga akhirnya kami mendengar sesuatu.

"Aku menemukan ini," Kata sebuah suara yang sangat familier di pendengaranku, dari kejauhan. Gally. Ya. Kekasihku. Tak salah lagi itu adalah dia. "Duduklah."

Aku menggeser tatapanku, kepada sosok yang tengah bergerak turun di sisi Gally. Brenda. Apa yang mereka lakukan di tempat sejauh ini? Dan, berdua saja?

Brenda menoleh, memandang Gally. "Hei, kau juga duduklah."

Gally mendaratkan bokong di sebelahnya. "Ini mengingatkanku pada momen sore hari di glade, meskipun tak pernah sedamai ini."

"Kau bahagia di sini?"

"Yeah. Maksudku, tentu saja aku bahagia di mana pun asal bersama anak itu.." Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup semak-semak, dan terlebih lagi dekapan Minho begitu kuat menahanku. Tapi, suara Gally terdengar penuh keraguan. "Tapi belakangan.."

"Belakangan?"

"Perasaanku tidak seperti dulu. Entahlah, Brenda. Apa keputusanku menyatakan cinta padanya hari itu sudah tepat? Kadang aku rindu kita yang tidak seperti ini."

Itu karena kau sendiri yang menarik diri dan menolak bicara denganku, dasar sialan! Aku kesal, rasanya ingin langsung maju dan melabraknya sekalian, tetapi Minho, lagi-lagi menahanku.

"Kadang aku lebih menikmati waktu-waktu hening seperti ini denganmu, dibanding harus pergi melakukan sesuatu seperti ketika aku dengannya."

Terjadi lagi. Aku akan merasakan kehilangan dari seseorang yang kucintai lagi. Aku benar-benar tidak kuat menahan sesak, tapi kakiku tidak bisa bergerak.

"Beri dirimu waktu untuk berpikir sejenak, Gally. Jangan terburu-buru." Gadis itu mendekatkan diri dan mencium pipi, kemudian bibir Gally. Dia.. tidak menolak ciumannya. Entah karena memang ingin, atau saking terkejutnya. "Kau bisa datang padaku sesering yang kau inginkan."

"Ayo kita pergi." Minho berbisik ke telingaku, wajahnya tampak murka.

***

Minho's POV

Winter memutar tubuhnya, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Dia menangis. Aku benci telah melakukan ini kepadanya, kepada orang yang paling kusukai di dunia ini, tapi aku tidak mau terus diam dan membuat Winter terluka lebih parah lagi nantinya.

"Ayo pulang, Min." Nadanya kekanakan, dia menarik tanganku, menuntunku menjauhi tempat itu.

Kupikir awalnya dia akan naik pitam dan mengabaikan teguranku, menyudutkan kedua orang yang telah mengkhianatinya itu, tapi ternyata Winter lebih bijak dari yang kukira.

Sisa perjalanan itu seolah samar bagi kami. Tak banyak yang dapat dikatakan, dan aku berusaha tidak sebawel biasanya untuk memberinya waktu untuk berpikir, merasakan apa yang dirasakannya.

Semua ini tidak adil, rasanya. Winter telah melalui saat-saat yang sulit. Dan kini, saat dia baru saja merasakan setitik kebahagiaan, lagi-lagi hidup mempermainkannya.

***

Hi! I'm back! Maaf yah ceritanya nggak habis-habis :D Kalau ada saran dan kritik, boleh banget drop di kolom komentar supaya aku bisa improve penulisanku juga hehe :3 Thanks sudah baca love u all!

Heaven Above Us (TMR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang