(S2) Dua: No Longer Yours

428 50 1
                                    

Minho's POV

Aku mengantar Winter ke pondoknya dan membiarkannya berpikir sejenak selagi kutinggal dirinya untuk memeriksa keadaan Newt. Setelah dari klinik, aku kembali ke pondok Winter untuk mengantarkan makan siangnya. Tapi ketika membuka pintu depan, langkahku seketika terhenti.

Kudapati gadis itu di dapur, kepalanya menindih tangannya yang dilipat di permukaan meja. Bokongnya duduk di ujung bangku, tampak siap jatuh dalam waktu dekat. Aku tak tahu apakah dia tidur, atau mencoba memulihkan pikirannya, atau jangan-jangan.. menangis?

"Win?"

Anak dungu itu tidak bergerak ketika kupanggil, jadi kuhampiri dirinya dan dengan gerak kasar yang biasa, aku mengguncang bahunya agar dia bangun. Begitu jemariku meremas bahunya yang kerempeng dan seolah bisa remuk sewaktu-waktu akibat guncangan kecil, dia terkesiap dan langsung duduk tegak.

Kepalanya jatuh di pundakku dan aku pun membantunya bangkit, membawanya jalan bersamaku dengan langkah terhuyung; agak sulit menopang tubuhnya sejak dia tidak mengeluarkan sepeser pun tenaganya.

"Kita ke sofa, sobat."

Kami berhasil tiba di depan sofa yang Winter tata dengan begitu rapih di depan ranjangnya. Saat aku melepaskan tangannya dari bahuku, dia ambruk ke sofa, tapi tangannya berhasil menggapai lenganku sehingga aku terjatuh bersamanya.

Aku buru-buru melepaskan diri dan kembali ke posisi semula, berdiri di hadapannya. Winter langsung berbaring miring dan tangannya mencengkeram sofa begitu kuat hingga buku jemarinya memucat. Dia menangis. Menangis tersedu-sedu. Begitu penuh pilunya hingga bahkan tidak mengeluarkan suara.

Aku menurunkan tubuh hingga berlutut di depan Winter kemudian menyentuh punggungnya yang sedang berhadapan dengan mukaku. "Win,"

Winter mengerang frustasi, menghela napas dalam-dalam, lalu perlahan memutar tubuh untuk menatapku. Matanya terbuka hanya segaris dan warnanya sangat merah.

"Tolong temani aku tanpa ikut campur, Min." Katanya sambil meraih tanganku. Matanya memejam, dan dia menghembuskan napas lagi.

Aku menatapnya tanpa bicara, membiarkannya memegangi tanganku hingga dia tenang dan air matanya tak menetes lagi. Setelah itu aku melepaskan tanganku darinya, tapi tetap di sisinya dengan posisi yang sama.

Meski terlelap, entah bagaimana Winter masih tampak sedih. Alisnya bertaut, napasnya tidak teratur. Aku mendadak menerima dorongan ganjil untuk membelai rambut cokelatnya, menenteramkannya.

Aku mengilas balik ke hari aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Itu salah satu hari paling indah dalam hidupku. Aku ingat dia menjabat tanganku sembari tersenyum. Hari itu, dengan penuh kepercayaan diri, Winter berkata bahwa aku bisa mempercayainya. Bahwa aku tidak perlu cemas, karena mulai saat itu dia adalah keluargaku. Kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu, dan setiap hari setelah hari itu, aku semakin menyukainya.

Winter adalah orang yang sangat berharga untukku. Aku pernah kehilangan Winter sekali karena tidak cukup baik dalam mengerti dirinya. Makanya, kali ini aku ingin mengerti dengan sebaik-baiknya. Aku akan melindunginya.

***

Seseorang mengguncang tubuhku saat aku membuka mata. Selagi mengumpulkan kesadaran, kudengar sebuah suara berat meneriaki namaku.

"Hey, sialan, lihat aku!" Gally menerjang kerah kemejaku.

Aku membuka mata, mendapatinya di depan mukaku dengan raut murka. Apa aku takut? Tentu tidak. Aku bahkan bisa membuatnya mampus hanya dalam sekali tinju.

"Ini semua gara-gara kau, Minho!"

Aku pura-pura tidak tahu, bergidik. "Apa maksudmu, Gally?"

"Jangan pura-pura tidak tahu!"

Heaven Above Us (TMR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang