Gally POV
Winter bersandar di sebuah bingkai jendela yang separuh hancur sembari merenung, entah apa yang dipikirkannya tapi gadis itu terlihat sedih. Dia memandang ke sekeliling kota dengan tatapan yang kelam, mimpi buruk yang kini terpaksa harus dia terima sebagai takdirnya.
Belakangan ini dia tidak terlalu banyak tersenyum, dia tidak seceria dulu, sekarang Winter lebih banyak bungkam dan melamun, menjadi seseorang yang bukan dirinya. Walaupun begitu, dia tetap perempuan paling hebat di mataku.
Winter dulunya adalah yang paling riang di antara para Glader lainnya. Seolah-olah dia bisa menikmati hidup di tempat mengerikan itu, dan dia selalu berkata bahwa kita hanya perlu menikmatinya, dengan begitu kita tidak perlu merasa kesal untuk menjalani hidup ini. Bahkan di tempat ini pun dia tidak mengeluh walaupun kenyataan pahit terkadang menghantui pikirannya, walaupun dari wajahnya saja aku tahu dia sangat lelah.
"Selamat pagi, Captain Gally." Sapanya, membuat jantungku seketika berdebar. Captain Gally, adalah nama panggilanku di Glade.
Well, panggilan itu lebih mengarah pada sebuah sarkasme, dulunya aku sangat berambisi ingin menjadi pemimpin di Glade, namun semuanya malah memilih Alby. Aku yang saat itu masih bersikap seenaknya, suka memerintah para Glader yang kuanggap lemah, dan saat itu aku ingin dipanggil kapten. Namun seiring berjalannya waktu, kusadari hal itu sangat menjijikan.
"Yeah yeah, terserah kau saja." Kataku sambil memutar bola mataku. "Sedang apa kau melamun disana, huh?"
"Tidak tahu juga." Winter menggeser tubuhnya, menepuk telapak tangannya di tempat kosong di sisinya seperti memberi sebuah tanda supaya aku bisa duduk dan bergabung dengannya. "Aku suka disini, terkena terpaan angin, melihat kota."
"Aduh kau itu dramatis sekali, sih." Ujarku sambil tertawa, aku duduk di sisinya, di sebuah bingkai jendela yang berdebu dan sudah tidak berkaca.
Kami berada di lantai tiga, namun karena bangunan ini di desain lebih tinggi daripada bangunan lainnya, kami bisa memandang hampir seluruh kota, banyak orang berlalu di bawah sana, di sebuah jalanan aspal yang diselimuti pasir. Angin menerpa kulitku, terasa sangat sejuk.
"Sudah kubilang, kan? Ini adalah tempat terbaik." Winter tersenyum kecil, kemudian menghembuskan napas panjang. "Aku sangat merekomendasikan tempat ini jika ingin menenangkan diri."
"Ya, walaupun pemandangan yang kudapat hanya beberapa bangunan separuh hancur, pejalan kaki, dan sedikit pemandangan matahari terbit dari arah timur yang samar-samar karena pasir yang tertiup angin ke udara." Aku mengangkat pundakku.
"Huh memang pemandangan seperti apa yang kau harapkan?" Gadis itu meringis, raut wajahnya kesal.
"Pemandangan hijau." Ucapku begitu saja, membuatnya tersedak oleh ucapanku.
"Apa lagi? Tembok-tembok yang menjulang tinggi?" Dia menyembur tawa.
"Kalau itu sih tidak termasuk!" Aku menggeleng. "Beberapa hari ini aku memikirkan sesuatu."
"Apa?" Tanya Winter.
"Saat pertama kali aku dikirim ke Glade.." Aku berhenti seketika. Nyaris saja.
"Hm?" Dia memiringkan kepalanya.
"Bukan apa-apa."
"Gally! Kau menyebalkan sekali, sih!" Serunya.
Saat pertama kali aku dikirim ke Glade, Winter lah yang paling banyak menolongku. Semua Glader tidak terlalu peduli padaku, kecuali gadis itu. Mereka awalnya nampak senang saat lift itu naik, namun saat pintunya terbuka dan mendapatkan aku yang terduduk karena efek dentuman keras saat lift itu berhenti bergerak naik, wajah mereka masam. Seperti mereka mengharapkan sesuatu.
Saat malam pertamaku disana, dia menjelaskan padaku tentang banyak hal. Dia satu-satunya dari sekian orang yang peduli denganku. Saat itu juga langsung timbul sebuah perasaan yang aneh dari dalam diriku, mungkin kebanyakan orang menamainya jatuh cinta. Perasaan ini membuat perutku bergejolak setiap melihatnya, perasaan yang membuatku ingin selalu menjaganya, perasaan ini bahkan terkadang membuatku ingin marah saat ia digoda oleh para Glader.
Tapi rasa itu menjadi terasa sangat memuakkan saat Newt menciumnya di hadapanku. Aneh saja aku tidak mampu untuk membenci gadis ini, meskipun tindakannya terkadang tanpa ia sadari membuatku sakit. Sejak bertemu lagi dengannya, aku berpikir mungkin akan ada peluang. Tapi aku lebih memikirkan apa yang akan terjadi di depan nanti. Aku perlu mengatakannya, yang jelas bukan di tempat ini.
"Sejak pertama kali kau dikirim ke Glade," Winter bergumam.
"Ya?" Aku mengangkat pandanganku.
"Aku tahu kamu tidak seburuk yang mereka kira, Gally." Dia tersenyum. "Rasa ingin memimpin pasti ada di dalam diri, namun kau yakin. Kau nggak munafik, namun saat itu caramu saja yang terlalu kekanak-kanakan."
"Kau orang pertama, dan satu-satunya yang pernah begitu." Aku menghela napas, mendapati wajahnya yang memerah saat aku menyapa tatapannya.
"Apa kau membenciku, Gally?" Dia menurunkan pandangannya. "Kau tahu aku telah-"
"Winter, semua yang telah terjadi pasti ada alasannya. Kau pergi saat itu juga jelas ada alasannya." Aku meyakinkan itu padanya.
"Kenapa kau berpikir begitu?" Winter menatapku dengan kedua bola matanya yang memerah dan mulai banjir.
"Aku tahu kamu tidak seburuk yang mereka kira." Ucapku, mengutip ulang perkataanya.
Gadis itu tiba-tiba saja mematung, air matanya tumpah dari sela-sela matanya, dia memejamkan mata.
"Kenapa kau tidak mau menceritakannya?" Aku penasaran.
"Kau pasti akan tahu nanti." Winter mengusap kepalaku, kemudian berbalik. "Ayo kerja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven Above Us (TMR)
Random[HIATUS] Sebenarnya Teresa bukanlah benar-benar perempuan pertama di Glade. Ada seorang gadis yang dikirim bertahun-tahun sebelum kedatangan Thomas dan Teresa, yang 'mati' satu hari pasca kedatangan Chuck. Namun tidak satupun Glader yang ingin memba...