Sinar matahari pagi menerobos masuk dari jendela, menerangi seisi mobil. Nyaris semua orang masih teler, terkecuali Gally yang terjaga semalaman karena sibuk berpikir.
Ketika terdengar suara seperti seseorang telah bergerak dari arah depan, dia setengah berharap kalau itu adalah Winter, tapi yang dia lihat bangkit dari kursi malah Vince.
"Bantu aku membuka tirainya." Sapa Vince tanpa berbasa-basi. "Kita harus segera pergi dari sini."
Tak berdaya, dan karena tak tahu kata-kata untuk dilontarkan, Gally menuruti perintahnya dan segera melepas kain-kain yang menutupi jendela.
Vince membuka jendela di sebelah bangku supirnya, menyalakan sebatang rokok yang entah sejak kapan sudah terapit di kedua bibirnya, mengganti gigi persneling dan menginjak pedal gas truk, membuat semua orang bangun, tersentak maju dan mundur.
"S-Sialan!" Gertak Frypan, bangkit dari pembaringannya. "Kenapa tiba-tiba?!"
"Akan terjadi badai."
"Dari mana datangnya semua ini?" Minho mengerang dan melihat sekumpulan abu yang bergulung-gulung di luar. "Kukira kita sedang ada di tengah gurun!"
"Kurasa di gurun pun kadang-kadang turun hujan." Vince mempercepat laju truk sehingga menghasilkan suara berdecit yang panjang, dan mereka kini bergerak sangat kencang, tidak tampak seperti akan berhenti dalam waktu dekat.
"Bagaimana kalau segerombolan Crank datang dan mencoba membunuh kita?" Sambar Winter dari tempatnya duduk, di sebelah Minho.
"Maka kita akan melawan mereka!" Minho tegas namun memberengut seolah kecewa karena gadis itu mengajukan pertanyaan yang konyol.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah perkotaan, langit hitam di atas mereka siap meledakkan dan memuntahkan air kapan saja.
Mereka hanya beberapa mil jauhnya dari kota berikutnya tapi tiba-tiba saja mereka bertemu seorang lelaki tua tergeletak di tengah jalan, ranselnya berantakan di tanah beberapa meter dari tubuhnya. Vince yang pertama kali melihatnya, dengan segera menghentikan mobil dan turun menghampiri pria itu sebelum yang lainnya ikut berkerumun mengelilingi lelaki itu, menatapnya.
"Permisi, kau baik-baik saja?" Vince menepuk secara perlahan pundaknya.
Orang asing itu masih hidup, bernapas pelan, tetapi dia memandang langit dengan pandangan kosong. Seolah-olah dia sedang menunggu ajal tiba dan menjemputnya, mengakhiri hidupnya yang menderita.
Dia pasti berusia sembilan puluh tahunan meskipun sulit ditebak, mungkin pakaian dan terik matahari yang membuatnya terlihat seperti itu. Wajah kerasnya berkeriput, bopeng, dan luka ada di mana-mana. Kulitnya gelap dan kusam.
"Hey, Pak Tua!" Teriak Minho, selalu dengan nada bijaksana. "Kau masih hidup?! Apa yang kau lakukan di sini?"
Winter menyikut kasar Minho dan berlutut di samping kepala lelaki tua itu. Kemurungan di wajah itu menghancurkan hatinya.
"Pak?" Tanya Winter. "Kau bisa mendengarku? Bisakah kau bicara?"
Lelaki itu mengedip pelan, tetapi tidak mengatakan apa pun. Ketika Winter hendak bicara lagi, pria itu memegang pergelangan tangan Winter, menggenggamnya dengan kekuatan yang lebih besar dari yang semua orang kira. Winter berteriak kaget dan secara naluri berusaha menarik tangannya, tetapi tak bisa.
"Lepaskan dia!" Vince berteriak, menodongkan pistolnya ke kening pria itu.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, mata gelapnya lebih penuh ketakutan daripada semacam perlawanan. Bibirnya terbuka lagi, dan bisikan parau tak jelas keluar dari mulutnya. Dia tak melepas genggamannya dari Winter, bahkan sama sekali tak mengendurkan kekuatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heaven Above Us (TMR)
Random[HIATUS] Sebenarnya Teresa bukanlah benar-benar perempuan pertama di Glade. Ada seorang gadis yang dikirim bertahun-tahun sebelum kedatangan Thomas dan Teresa, yang 'mati' satu hari pasca kedatangan Chuck. Namun tidak satupun Glader yang ingin memba...