Delapan: You'll be Okay

1.2K 188 39
                                    

*Song for this Chap:
High Hopes - Kodaline (Slowed)

Biar lebih ngena bacanya sambil denger video yang di atas yaa hyung ಥ‿ಥ

Winter POV

Sesuatu bergolak dalam diriku. Dimulai dari dadaku, timbul sepercik kemarahan, kesedihan, kebencian, dendam, hal-hal lainnya yang gelap dan mengerikan.

"Sial. Sial. Sialan." Aku terhuyung ke lantai, menumpu tubuh pada lututku yang bergetar. Kemudian rasa itu meledak-ledak, menghambur keluar dari dada, menjalar ke tenggorokan. Merasuki pikiranku. Hampir membuatku gila.

"Winter.."

Tanpa berpikir panjang lagi, aku menghambur maju, menubruk Gally dan mencengkramnya. Aku menyambar pipi bocah itu, mendorongnya hingga jatuh ke lantai dan menindihnya.

"Kenapa kau tidak beritahu aku, Gally?!" Raungku kesal. "A-Aku mempercayaimu! Aku kira kau teman terbaikku, tapi apa ini?!" Kesedihan membanjiriku. Newt mendekat, menyentuh bahuku yang bergetar kencang. Namun dengan cepat aku menepisnya.

"Aku sudah berjanji padanya, Winter." Kata Gally, kemudian ia melanjutkan, "Pada Lawrence untuk tak mengatakan apa pun sebelum ia mengatakan dengan mulutnya sendiri."

Aku terus-terusan memukulkan tanganku ke wajah anak itu. Terdengar suara gemertak, darah, dan ringisan yang mengerikan. Tak satupun orang bisa melerai, karena mereka pun merasa bersalah atas semua ini.

"Winter, maafkan aku." Lalu saat itu, Gally memelukku dengan lengan-lengan kekarnya, menerima kebencianku dengan segenap hati. Kemudian semua kebencian dan amarah itu lenyap begitu saja, hanya menyisakan sebuah kesedihan yang mendalam. "Lakukanlah jika bagimu dengan begini akan membuatmu merasa lebih baik."

Aku meraih tubuh bocah yang babak belur itu, menariknya ke pelukanku yang erat, mengabaikan darah-darah yang kusebabkan, bercucuran ke bajuku.

"Maafkan aku." Jeritku, suara menangisku terdengar tak wajar. "Maaf, Gally. Maafkan aku. Kumohon."

"Tak apa, maafkan aku." Gally menyapaku dengan senyuman. Ia begitu sabar menghadapi amukanku. "Aku baik-baik saja."

"Apa itu sakit?" Aku berusaha mengusap darah yang mengalir di kedua lubang hidungnya.

"Tak apa, hanya sedikit. Jangan dipikirkan. Yang terpenting adalah kau." Gally mengecup keningku, membuat jantungku berdebar kencang.

"Ayo, kita harus melanjutkan perjalanan." Kata Thomas. "Kau akan baik-baik saja, Winter. Aku janji."

"Ayo," Newt membantuku bangkit, aku hanya bisa pasrah dan menangis, air mata mengucur deras seakan aku belum pernah melakukannya. Isakanku yang nyaring dan terdengar putus asa bergema di lorong itu seperti menyuarakan kesakitan yang menyiksa.

Frypan ikut terisak dalam keheningan, begitu pula dengan yang lainnya. Mereka berusaha keras menahan air matanya.

Aku akhirnya hanya mengembalikan semuanya ke dalam hatiku, menelan gelombang rasa sakit dan kepedihan itu. Selama beberapa bulan terakhir, Lawrence lah yang menjadi sebuah penerang bagiku. Bagaikan sebuah lentera yang entah bagaimana dapat membuat segalanya di dunia yang sudah kacau balau ini menjadi lebih baik untukku.

Ucapan selamat malam. Teman cerita yang selalu ada. Guru dalam bidang apa pun. Kawan yang selalu ada dalam situasi apa pun. Menjadi bahagia. Akan tetapi, Lawrence akan segera pergi. Masa indah di depan sana sudah tak begitu nampak bagiku, seolah tak ada harapan. Semuanya tak akan sama lagi jika pun aku tetap hidup nantinya.

Bahwa meskipun berlari dari kenyataan, hari-hari yang lebih suram menanti di depan. Kehidupan yang penuh kedukaan akan terus berjalan, dan aku harus berjuang keras setiap harinya.

Sebagian kenangan indah muncul kembali secara samar seolah ternoda. Aku menelan rasa sakit itu, menguburnya dalam-dalam di hatiku. Kedepannya aku akan melakukannya dengan baik untuk Lawrence. Untuk Gally. Untuk Janson. Untuk Newt. Untuk Minho. Frypan. Thomas. Brenda dan Jorge.

"Pada akhirnya semua orang yang kuncintai akan meninggalkanku." Gumamku, namun Gally menghentikan langkahku. Mencengkram bahuku cukup erat, sebelum menarikku ke pelukannya.

Jantungnua berdegup dengan cepat. "Kau masih punya seseorang yang mencintaimu, tahu." Ucapannya membuatku tersentak.

"Apa?" Aku tertawa.

"Tidak ada." Gally melempar pandangannya, wajahnya yang memerah membuatku ingin tertawa. "Winter, sesusah apa pun situasinya, kau selalu punya aku." Namun seketika perkataannya membuat jantungku hampir gila.

Benar. Kegelapan macam apa pun yang menanti, aku akan selalu berjuang, dan kita akan selalu bersama. Itulah yang paling penting sejak saat ini.

Heaven Above Us (TMR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang