Bagian 1

86.7K 10.7K 1.7K
                                    

Dulu ketika aku masih begitu muda, aku pernah mendengar kakak-kakakku menggerutu perihal hidup yang sulit dan menjadi dewasa adalah satu-satunya jalan yang harus mereka tempuh tanpa bisa mereka hindari. Pagi ini, dengan seragam putih abu-abu yang rapi, aku menatap tampilanku di cermin kamar untuk waktu yang cukup lama. Lalu membatin dengan tatapan nelangsa, "kenapa lo terlalu keras sama diri lo sendiri?"

"Eh, Curut! Jadi sekolah nggak lo? Udah ditungguin Cetta noh." Dan lamunan itu buyar ketika aku mendengar suara teriakan Mas Nana disertai gedoran pintu yang cukup keras.

"Iya! Ini lagi ngambil tas." Sahutku, padahal aku sudah menyangklong tas lebih dari 10 menit dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menatap pantulan diriku di cermin. Aku hanya tiba-tiba merasa, tak banyak yang berubah dari tubuh ini selain fisik yang membesar dan waktu yang terus berjalan. Selain itu, nyaris tak ada yang berubah. Keadaanku, permasalahanku, pemikiranku, semuanya terasa tak bergerak sama sekali.

"KIN DHANANJAYA!!!" aku mendengar kakak kelimaku itu berteriak lagi, kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya. "Hari ini Cetta ada jam tambahan pagi lo tahu nggak sih?"

"Dia yang ada jam tambahan kenapa aku yang kudu berangkat pagi sih?" aku sengaja menutup pintu dengan suara cukup nyaring dan melewati Mas Nana tanpa sudi menoleh sedikit pun ke arahnya. Lalu aku menuruni tangga dengan cepat. Kesal, tapi aku tidak punya pilihan lain selain berangkat pukul 6 pagi karena Cetta memiliki les tambahan di kelasnya. Maklum, sebentar lagi ujian nasional.

"Dih, kok protesnya ke gue? Noh, sama bapak dan ibu guru, kenapa mereka bikin lesnya pagi-pagi banget."

"Ya kenapa juga aku kudu ngikut berangkat pagi, kan bisa aja si Cetta berangkat duluan."

"Biar sekalian, kan satu sekolah ini. Entar kalau lo berangkat naik motor sendiri, boros bensin." Kata Mas Nana. Kami masih berdebat cukup sengit bahkan sampai di teras depan.

"Cuma gara-gara harus hemat bensin, aku kudu ngorbanin waktu buat berangkat pagi gitu?"

Ketika aku berhenti berjalan dan menoleh ke belang, aku menemukan Mas Nana menghela napas panjang. Ditempat yang sama, terlihat Mas Jovan tidak bisa melakukan apapun selain mendengarkan dan menyaksikan perdebatan kami. Begitu juga Kak Ros yang berhenti mengelap body mobil karena suaraku dan Mas Nana memang terdengar sangat berisik.

Aku rasa, Mas Nana cukup cerdas untuk menangkap maksud dari ucapanku. Terlihat dari bagaimana dia terdiam cukup lama saat aku menatapnya dengan pandangan nyalang. Kami memang jarang bertengkar, tapi jika ada situasi dimana kami benar-benar memiliki pemahaman yang berbeda, atmosfir di sekeliling kami bisa terasa sangat berbeda. Seperti pagi ini, tidak ada satu pun yang mau menyela perdebatan kami. Termasuk Cetta yang seharusnya mengomel karena dia harus terlambat les pagi gara-gara aku. Tapi meskipun aku membuatnya cukup terlambat pagi, Cetta tidak berkomentar apapun saat aku naik ke boncengan motor dan mengenakan helm.

Aku meninggalkan orang-orang yang berada di teras rumah tanpa rutinitas wajib yang harus kami lakukan setiap pagi. Aku pergi tanpa ucapan salam yang sebenarnya tidak boleh aku lakukan. Di tengah jalan, aku bahkan lupa membawa kotak makan siangku dan berakhir menarik napas panjang karena sadar bahwa aku juga belum sempat sarapan. Sebuah pagi di hari senin yang buruk. Langit terlihat cerah, tapi tidak dengan perasaanku.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tidak ada yang bersuara baik aku maupun Cetta. Mungkin anak itu sadar bahwa dia adalah penyebab utama pertengkaranku dengan Mas Nana pagi ini, terlihat dari bagaimana dia sesekali melirik spion-seolah sedang memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Kami 7 bersaudara--dengan personil yang berkurang satu--sebenarnya nyaris tidak pernah bertengkar. Beberapa kali memang pernah, tapi dalam 1 bulan, mungkin hanya 2 sampai 4 kali saja. Karena sejak dulu, orangtua kami selalu mengajarkan kami bagaimana caranya bermusyawarah dan menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin. Bahkan Bang Tama dan Mas Jovan yang bisa saja menggunakan otot mereka untuk menyelesaikan masalah, memilih untuk duduk dan berunding agar mereka menemukan jalan tengah dari masalah mereka.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang