Aku sudah menduga kalau tubuh Cetta pasti drop gara-gara dia terlalu memforsir diri menjelang ujian nasional. Akhirnya, sore ini dia terkapar dengan badan yang mengepul--nggak deng, nggak sampai bikin air mendidih atau sampai bikin telur mentah jadi matang kok. Hanya 39 derajat, tapi aku percaya bahwa tubuhnya pasti bisa melawan rasa sakit itu dengan baik. Karena buktinya--
"Nggak, nggak! Gue nggak mau buah naga, kupasin jeruk aja biar seger. Ini mulut gue sepet banget, atau nggak duku deh. Duku enak tuh kayaknya. Tapi kemarin kayaknya gue lihat ada semangka di kulkas, kenapa lo nggak bawain semangka aja sih?"--dia masih bisa mengoceh panjang lebar padaku yang mendadak jadi budaknya sore ini. Ini bukan perkara aku mau-mau saja ya diperintah sama dia, karena memang tidak ada siapa-siapa di rumah selain aku.
Aku menarik napas panjang, lalu tak urung berdiri untuk mengambil buah semangka seperti permintaannya.
"Oke, gue ambilin." Kataku, "ada lagi yang mau dimakan selain semangka?"
"Tadi pagi Mas Nana bikin kue sus itu masih ada nggak?" Tanyanya, sambil mengeratkan selimut tebalnya yang bergambar Kang Seulgi. Tahulah itu selimut siapa. Aku juga tidak tahu kenapa Cetta jadi suka hal-hal berbau Korea beberapa bulan belakangan ini, terutama Aespa. Biasnya Ningsih--atau siapa itu namanya, aku tidak begitu hafal.
"Ada. Kenapa, mau?"
"Mau. Kalau ada 2, tolong bawain 2 ya."
Aku mengangguk singkat, lalu kembali menutup pintu dan membiarkannya meringkuk seorang diri. Hari semakin sore, tapi belum ada seorang pun yang pulang selain aku dan Cetta. Mama tadi sempat pulang, tapi kembali lagi ke tempat laundry. Alhamdulillah, Mama sudah memiliki bangunan sendiri untuk tempat usahanya. Tidak mengontrak di ruko lagi seperti tahun-tahun yang lalu. Belakangan ini, laundrynya jadi semakin ramai. Karena selain cukup dekat dengan kos-kosan, tempatnya juga cukup dekat dengan perumahan dimana orang-orang yang tinggal di sana cukup sibuk untuk mencuci pakaiannya sendiri.
Aku sedang memotong semangka ketika Mas Jovan masuk ke dalam rumah dengan derap langkah yang menggebu-gebu. Ia menghampiriku dengan pakaiannya yang dipenuhi bercak oli dan bau minyak yang apeknya bukan main. Raut wajahnya terlihat lelah--tanda bahwa dia sudah cukup bekerja keras seharian ini.
"Tadi Mama telpon gue katanya Cetta demam?" Tanyanya setelah mencuci tangan dan wajahnya. Dia bahkan belum menenggak segelas air ketika bertanya tentang keadaan Cetta.
Akhirnya, akulah yang memutuskan untuk melakukannya. Aku mengambil air dari dalam lemari pendingin dan menuangkannya ke dalam gelas. Mas Jovan terlihat menyunggingkan senyum saat aku menyurukkan segelas air itu ke hadapannya.
"Widih, makasih." Katanya, lalu duduk di seberang meja dan menenggak air putih itu sampai habis. Karena dalam keluarga kami, ada peraturan sederhana yang penting dan wajib dilaksanakan--tidak boleh minum dan makan sambil berdiri.
"Mas Jovan mau semangka juga?" Tawarku ketika dia terlihat begitu serius memperhatikanku yang sedang memotong semangka. Tapi ketika kusangka dia tertarik, dia justru menggeleng.
"Bang Tama udah pulang?" Tanyanya, lalu tatapannya berlari pada obsidianku.
"Belum, kenapa?" Alih-alih menjawab, Mas Jovan hanya terkekeh dan menggelengkan kepalanya. Seolah apa yang sedang ia pikirkan saat ini bukanlah sesuatu yang serius untuk ia utarakan. Atau mungkin, aku bukanlah orang yang tepat baginya untuk mengutarakan sesuatu.
"Nggak pa-pa." Jawabnya. "Gue lihat Cetta dulu deh, habis itu mau mandi. Gila, hari ini bengkel rame banget. Punggung gue kaku banget rasanya."
Laki-laki itu berlalu dengan tawa ringan, tanda bahwa dia menerima rasa lelahnya itu dengan perasaan yang penuh dengan kelapangan. Aku tahu, selama ini lelah seperti inilah yang Mas Jovan idam-idamkan. Lelah karena memang ada banyak pekerjaan yang bisa dia lakukan, dan ketika ia melakukannya, ia merasa sangat bahagia. Bukan lelah karena ia terlalu banyak menampung keresahannya sendirian dalam kepala tanpa bisa melakukan apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔
Ficção AdolescenteBAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di umur itu, akan ada banyak sekali ketakutan, kekhawatiran, dan keraguan. Tapi meskipun ada begitu banyak masalah, Kin Dhananjaya selalu perc...