Bagian 11

31.2K 6.8K 1.8K
                                    

Aku berakhir menjelajahi sudut-sudut kota tanpa sepengetahuan orang-orang rumah. Cetta bahkan mengirim pesan dan menelpon sampai berulang-ulang kali. Jelas tidak akan aku gubris, atau aku akan budeg setelah mendengar dia mengomel dan berteriak-teriak seperti orang kesetanan.

Berkendara tanpa tujuan, dengan pikiran yang cukup kosong ternyata tidak seburuk yang aku pikirkan. Ini memang sedikit pelanggaran karena aku memang belum punya SIM, tapi tidak mungkin juga aku menunggu untuk melakukan ini setelah membuat SIM terlebih dahulu. Pasti akan butuh lebih banyak waktu, sementara aku galaunya malam ini dan itu tidak bisa ditunda sama sekali.

Untuk pertama kalinya, aku melewati ruas-ruas jalan arteri yang sebelumnya belum pernah aku lewati seorang diri. Aku melewati Jalan Senopati yang justru terlihat seperti jantung Kota Jakarta. Berkendara dengan kecepatan sedang sepanjang Jalan Sudirman sambil memperhatikan betapa kokohnya gedung-gedung sentral yang ada di sana. Malam yang cukup menarik sepanjang hidupku, tapi semuanya tidak berarti apa-apa setelah penyesalan yang selama ini aku kubur dalam-dalam, ternyata timbul dan kembali berhamburan. Semua itu persis seperti kelopak dandelion yang ditiup dengan kencang--dan sangat tidak mungkin buatku memungutnya satu per satu. Sebab itu terlalu berantakan untuk aku tangani sendirian.

Malam belum terlalu larut ketika aku kembali berputar-putar di area Gultik yang ramai dan memutuskan untuk duduk di salah satu sisi trotoar yang tidak terlalu ramai. Iya, tempat ini juga tidak asing untuk aku jelajahi. Abang sering sekali mengajakku makan di sini meskipun yang dia lakukan hanya mengoceh dan bercerita panjang lebar tentang kesehariannya di kampus. Dia mungkin tidak akan pernah tahu bahwa aku tidak begitu suka gule, itulah kenapa aku selalu habis 1 porsi dan tidak pernah nambah. Tapi aku suka dengan antusiasnya saat bercerita, atau bagaimana caranya berinteraksi dengan pedagang-pedagang sekitar. Sambil sesekali memberi uang receh pada pengamen asalkan mereka mau menyanyikan 1 lagu penuh--dan lagu yang dia pesan akan selalu sama. Bintang Kehidupan. Lagu favorit bapak.

"Tisu, Mas?"

Aku mendongak, lalu menemukan seorang bapak-bapak dengan raut wajah yang sangat lelah berdiri menjulang di hadapanku.

"5 ribu aja, Mas." Ujarnya, dengan senyum yang terlihat cukup dipaksakan.

Aku tidak mengatakan apa-apa, tapi aku memutuskan untuk merogoh saku celanaku dan mengurai gumpalan uang sisa pembayaran bensin tadi. Ada 1 lembar 10 ribu dan aku memberikan sisanya secara cuma-cuma.

"Kembaliannya buat bapak aja." Kataku sesaat setelah transaksi dilakukan.

Tidak ada ekspetasi apapun saat si bapak tiba-tiba menengadahkan tangan dan memunajatkan doa yang begitu panjang. Tatapan matanya pada langit yang gelap di atas kami membuatku membisu, karena aku memang tidak tahu harus melakukan apa saat si bapak mulai berinteraksi dengan Tuhannya secara langsung di hadapanku.

"Itu cuma 5 ribu, tapi kenapa doanya panjang banget?" Aku membatin masih sambil tak habis pikir.

"Mas, semoga Mas dimurahkan rezekinya. Sekali lagi terima kasih." Bahkan setelah doa panjangnya selesai, si bapak masih melontarkan doa baik yang sama.

Aku tersenyum simpul, karena tiba-tiba saja bapak ini membuatku merasa begitu miskin di hadapannya. Sementara sosoknya adalah definisi dari kaya raya yang sebenar-benarnya aku pahami.

"Aamiin," ucapku. "Terima kasih doa baiknya, Pak."

Setelah itu si bapak berlalu. Dia meninggalkanku bersama 1 bungkus tisu yang sebenarnya aku tidak tahu harus menggunakannya untuk apa. Tidak mungkin aku berikan pada Arini karena aku sedang susah payah menghindarinya sekarang. Ini adalah agenda move on pertamaku. Mas Jovan bilang ini akan menjadi sulit, tapi aku tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya jika tidak mengalaminya sendiri, kan?

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang