Bagian 4

32.4K 8.1K 1.3K
                                    

Menjelang jam 3 sore, aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Menunggu di depan gerbang dengan tenang. Menikmati lalu-lalang kendaraan yang melintas di jalan raya. Aku hampir tidak sadar sejak kapan langit berganti warna. Hari cukup temaram ketimbang hari-hari biasanya, dan aku paling suka suasana ini—keadaan dimana hujan akan turun sebentar lagi.

Aku baru saja akan masuk ke dalam sekolah dan menunggu di pos satpam ketika aku melihat sosok Cetta muncul dengan wajah suntuk. Dia datang ke sekolah dengan penampilan rapi, tapi sore ini dia terlihat sama berantakannya dengan wajahnya. Lagi-lagi aku menemukannya muncul dari balik gerbang sekolah yang sepi sambil menggendong setumpuk buku, dan ia terdiam cukup lama di sana—diam menatapku.

"Gue pikir lo udah balik." Kemudian dia berjalan ke arahku, dengan sorot mata yang nyaris tidak percaya.

"Terus lo pulang naik apa kalau gue balik duluan?"

"Gue bisa pesan ojek online," anak itu terlihat berpikir beberapa saat. "atau jalan kaki kayak biasanya."

"Jadi nggak suka nih gue tungguin?"

Cetta berdecak, kemudian ia mengoperkan buku-buku tebalnya kepadaku agar ia bisa duduk di jok depan. "Bukan gitu, kan lo jadi kelamaan kalau nungguin gue. Besok-besok langsung pulang aja."

"Oh, ya udah." Aku menjawab singkat. Entah kenapa aku merasa jengkel ketika dia terus saja menggerutu sepanjang jalan. Padahal aku sudah berniat baik menunggu dia pulang. Supaya dia tidak mengeluarkan uang lebih untuk naik ojek online. Supaya dia tidak kelelahan karena berjalan kaki ketika pulang. Aku hanya berusaha peduli, tapi aku lupa, tidak semua orang bisa menerima empati dan sebuah rasa peduli.

***

Sesuai dugaan, hujan turun deras ketika aku dan Cetta sudah tiba di rumah. Aku kembali berdecak ketika melihat anak itu menikmati makan siangnya yang terlambat dengan sebuah buku yang terbuka. Bahkan dalam keadaan seperti ini dia berusaha untuk terus membaca—belajar, katanya. Supaya nilainya baik. Supaya dia bisa dapat peringkat. Supaya dia bisa membanggakan keluarga. Sementara di balik jendela, aku justru sibuk memperhatikan bagaimana hujan rebah di pekarangan rumah kami.

"Cetta?" aku memanggilnya, masih dengan tatapan yang sibuk memperhatikan hujan. Tapi meskipun begitu, aku tahu bahwa anak itu sedang menoleh ke arahku. "Buat lo, nilai itu penting?"

"Penting dong."

"Seberapa besar lo bisa menganggap bahwa nilai itu penting?" kali ini aku menoleh ke arahnya. "Sampai angka berapa level tertinggi lo bisa beranggapan bahwa nilai itu penting buat lo?"

Anak itu terdiam cukup lama. Dia bahkan mengabaikan nasi dan bukunya hanya untuk diam menatapku. Seolah dia sedang mencari tahu, hal-hal acak apa saja yang saat ini berkelebat dalam kepalaku.

"Kalau nilai dan angka lo anggap penting, seberapa besar orang lain bisa menghargai lo? 1 juta? 2 juta? 1 triliun?" dan aku kembali bertanya ketika dia masih tak kunjung berkata apa-apa.

Kemudian tak lama setelah itu, aku mendengar dia berdecak. "Kan, mulai lagi."

"Gue cuma nanya." Kataku.

"Lo bisa nggak sih kalau nanya tuh yang nggak usah bikin gue mikir?"

"Ya kalau lo nggak mikir apa-apa, namanya bukan pertanyaan, dodol!"

Cetta terkekeh, lalu dia melanjutkan acara makannya seolah pertanyaanku tidak pernah berdampak apapun. Tapi aku tahu, dibalik keterdiaman anak itu, dia sedang memikirkan semua pertanyaanku. Kami hidup hampir sepanjang hidup kami saat ini, jadi mustahil aku tidak bisa menerka saudaraku sendiri.

Sore itu, kami akhirnya terdiam cukup lama. Orang-orang rumah banyak yang belum pulang. Hanya ada Mas Nana dan Mas Jovan yang memilih mendekam di kamar semenjak mereka pulang. Hujan turun lebih deras, mungkin itu juga yang menjadi penyebab Mas Nana mengurung diri di kamar sepulangnya ia dari kampus. Jadi hanya suara hujan dan gelegar petir yang meramaikan kesunyian kami.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang