Bagian 25 [FINAL]

19.4K 2.4K 547
                                    

Satu bulan berikutnya, aku mulai menyadari bahwa Arini benar-benar pergi. Akses untuk menghubunginya tertutup rapat. Nomornya tidak aktif, begitu pun dengan nomor kedua orangtuanya. Rumah mereka pada akhirnya dijual pada seorang pemilik baru. Arini pergi, tetapi tidak dengan kenangannya yang tinggal cukup lama bersamaku di sini.

Aku masih sering pergi ke Indomaret untuk membeli es krim yang biasa kami makan. Sesekali aku juga membeli sosis bakar favoritnya. Tukang parkir yang biasa muncul mendadak pun masih ada di sana, belum berganti dengan tukang parkir baru. Setiap sore, langit di depan Indomaret masih berwarna sama—dengan suasana yang juga sama. Keramaian masih terus berlangsung. Tetapi di teras Indomaret, rasanya hanya aku yang kesepian. Dan kerinduan itu bergelayut begitu besar di sana. Ternyata benar apa kata Mas Nana. Bagian sedih dari sebuah perpisahan bukanlah perpisahan itu sendiri, melainkan kenangan yang masih tertinggal meskipun kita telah berjalan cukup jauh.

Ada banyak hal yang masih aku lakukan meskipun sudah tidak ada Arini di sini. Aku mengganti keberadaannya dengan sosok yang baru, yang sedang kucoba terima dengan sebaik-baiknya. Meskipun kedengaran cukup jahat, tetapi aku selalu mencoba untuk berjalan terus ke depan. Dengan seseorang yang bukan lagi Arini. Dengan seseorang yang kuharap cukup untuk mengisi kekosongan yang ada. Cetta bilang bahwa aku tidak seharusnya seperti ini. Tetapi sayangnya, aku takut menjadi lebih berantakan lagi jika tidak seperti ini. Entah dari mana aku dengar kalimat ini. Bahwa katanya, perpisahan yang berlangsung ketika kita tidak menginginkannya adalah sebuah penderitaan. Kurasa, itu adalah benar. Dan aku sedang susah payah mengatasi penderitaan ini.

"Kakak nggak bosen ya mainnya di sini terus?" Rebecca menghela napas panjang tepat saat aku hampir menandaskan sosis bakarku.

"Kenapa? Kamu bosen ya?" tanyaku. Lalu saat aku melihat ke bawah, sosis bakar yang aku pesan untuknya bahkan tak habis setengah. Dia membiarkannya semakin dingin dan tak tersentuh. Hanya es tehnya yang terlihat nyaris habis.

Untuk beberapa lama, Rebecca tidak berkata apa-apa. Gadis itu kembali menyedot es tehnya dan berulang kali memperbaiki posisi duduknya. Dia terlihat tak nyaman, dan lama-lama itu membuatku terganggu. Akhirnya, aku memutuskan untuk beranjak.

"Ayo, kamu mau ke mana?" Ajakku, setelah mengemasi jaket dan sampah-sampah sisa makananku. "Aku pikir kamu nggak pa-pa kalau kita ke sini lagi. Harusnya tadi kamu bilang kalau nggak mau ke sini."

"Sorry," lirihnya. Raut wajahnya nampak sendu, dan perasaan bersalah itu terpancar jelas di kedua matanya. "Kakak tadi kelihatan excited banget, jadi ya aku nurut aja."

"No, it's okay. Kamu mau ke mana sekarang?"

"Ke tempat yang agak jauh."

"Ya jauh tuh ke mana, Rere. Pasti ada dong nama tempatnya?"

Anak itu tergelak begitu saja. Lantas, dia mendekat perlahan-lahan. Tatapan matanya berubah, dan aku tidak bisa menterjemahkannya sama sekali.

"Ke tempat yang cuma ada aku di sana."

Aku sempat tertegun saat dia menatapku begitu lekat. Tanpa sadar, jemarinya menaut jemariku dengan rekat. Sepasang kakinya melangkah, menarikku dari sebuah lamunan yang kalut. Untuk pertama kalinya, dia membuatku beranjak dari tempat yang cukup sering kudatangi. Ke sebuah tempat yang dia sebut jauh. Tempat yang memang ... hanya ada dia di sana.

***

Perjalanan kami berhenti ketika langit nyaris berubah gelap. Matahari tergelincir di sebuah garis cakrawala. Lautan membentang luas di bawahnya, bermandikan cahaya kuning keemasan dari langit yang berubah warna di atasnya. Seperti katanya, kami pergi ke tempat yang lebih jauh dari biasanya.

Tak pernah terbesit dalam kepalaku bahwa kami akan pergi ke tempat seperti ini. Rebecca mengajakku untuk menyusuri dermaga. Alih-alih bergandengan tangan seperti sepasang kekasih, dia memilih untuk berjalan di depan. Menyelami dunianya sendiri jauh lebih dalam.

Extraordinary Kin: The Journey to Growing Up✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang